Wikipedia

Hasil penelusuran

Jumat, 26 Februari 2016

Peta Desa Beteleme, Provinsi Sulawesi Tengah, Kabupaten Morowali Utara, Kecamatan Lembo

Add caption

Mewujudkan Keluarga Sebagai Gereja Kecil



RANCANGAN PENELITIAN

MENGEMBANGKAN KELUARGA SEBAGAI GEREJA KECIL DI STASI ST MARKUS RAANAN LAMA
PAROKI ST PAULUS
 TOMPASO BARU


 
(Diajukan Untuk Memenuhi Proposal Dalam Rangka Penyusunan Skripsi)
Oleh:
Vincentius. R. Toreh
NIM: 11-0364
NIRM: 11.16421.0358.R

SEKOLAH TINGGI PASTORAL (STIPAS) ”DON BOSCO”
JURUSAN KATEKETIK PASTORAL
TOMOHON
2015
 










I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang terkumpul didalamnya dan tinggal bersama disuatu tempat di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga berperan penting dalam kehidupan bermasyarakat karena peran keluarga menunjukan suatu organisasi kecil yang dapat hidup dalam kebersamaan. Peran-peran yang terdapat dalam suatu keluarga yakni ayah sebagai suami yang berperan sebagai kepala rumah tanggal, pendidik dan pencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ibu sebagai istri dari suami dengan peran sebagai pengurus rumah tangga, sebagai pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Di samping itu juga ibu dapat berperan sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga. Anak-anak sebagai tanggung jawab utama dalam keluarga dan dididik oleh orang tuanya.
Dalam kehidupan menggereja, keluarga merupakan kelompok terkecil dari gereja. Didalamnya terdapat suatu persekutuan yang erat antara semua anggota keluarga. Setiap anggota keluarga dapat menjalankan fungsi dan perannya masing-masing yakni baik sebagai orang tua maupun sebagai anak. Keluarga juga dapat disebut sebagai gereja kecil karena didalamnya kita dapat mengenal iman dan merasakan sebuah persekutuan cinta yang terus terjalin. Dengan demikian salah satu fungsi keluarga yakni menghadirkan Kristus dalam keluarga itu sendiri maupun bagi masyarakat umum.
Sebagai gereja kecil, keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya khususnya terhadap anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yakni mengenal gereja dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun gereja. Bekal iman tersebut bisa diberikan lewat pendidikan iman oleh keluarga itu sendiri. Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha memberikan semua hal yang dibutuhkan anak-anak untuk dapat bertumbuh dewasa secara kristiani. Hal ini merupakan panggilan bagi keluarga-keluarga kristen, jika mereka dapat menyadari dan mengamalkan akan panggilan tersebut, maka keluarga menjadi suatu persekutuan yang menguduskan, dimana orang belajar menghayati kelemahlembutan, keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati. (bdk Ef 1:1-4)
Keluarga memiliki nilai-nilai yang penting dalam menanamkan nilai-nilai kristiani, karena nilai-nilai kristiani tersebut bermula dari dalam keluarga itu sendiri. Kita dapat melihat tingkah laku seseorang sebagai orang kristiani karena dilandasi oleh pendidikan yang baik dari dalam keluarganya sendiri. Peran keluarga sangatlah penting sebab maju mundurnya kehidupan menggereja ditentukan oleh sejauh mana setiap pribadi dididik dalam keluarganya.
Dizaman modern ini, dimana perkembangan dan kemajuan teknologi sangat mempengaruhi perilaku setiap pribadi dalam keluarga. Salah satu tantangan serius yang dihadapi dan dialami oleh keluarga-keluarga zaman ini adalah situasi dan kondisi lingkungan yang diwarnai oleh sarana komunikasi modern. Keluarga-keluarga harus melaksanakan perutusannya dengan memberikan pendidikan nilai kemanusiaan dan iman kepada anggota keluarganya yang mau tidak mau pribadinya sudah dipengaruhi dan bahkan dibentuk oleh sarana komunikasi itu yang sering kali menyampaikan program acara yang bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai yang ingin kita hayati dalam keluarga. Setiap keluarga hendaknya menggunakan sarana komunikasi tersebut secara positif, artinya keluarga-keluarga harus memanfaatkan media komunikasi tersebut untuk mewartakan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman kepada semua anggota keluarga.
Stasi St Markus Raanan Lama adalah salah satu stasi yang ada di paroki St Paulus Tompaso Baru. Keluarga yang disebut sebagai gereja kecil, berarti di dalam kehidupan keluarga itu terdapat nilai-nilai kristiani yang terus tumbuh dan dikembangkan oleh keluarga itu sendiri. Namun pada kenyataannya nilai-nilai kristiani yang seharusnya bertumbuh dalam kehidupan berkeluarga tidak nampak dalam keluarga-keluarga yang ada di stasi ini. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarga stiap harinya. Misalnya ada beberapa umat yang pada hari minggu tidak mengikuti misa/ibadat melainkan hanya pergi ke kebun, tidak ikut ambil bagian dalam ibadat-ibadat wilayah rohani atau kelompok-kelompok kategorial, mereka yang dengan mudah mengeluarkan kata-kata kotor, ibu-ibu keluarga yang lebih suka duduk bersama dengan ibu-ibu yang lainnya untuk membicarakan hal-hal yang buruk terhadap orang lain dan bapak-bapak keluarga yang lebih suka duduk di warung sambil minum minuman keras dari pada mengurus keluarganya, tidak mau bermusyawarah dengan sesama umat yang yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan antar sesama keluarga katolik. Tentunya hal ini berdampak buruk bagi perkembangan Gereja saat ini, di mana nilai-nilai kristiani yang selalu diajarkan lewat peribadatan, misa dan kegiatan kerohanian lainnya, tidak berpengaruh terhadap perkembangan iman bagi keluarga-keluarga di stasi ini.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian tentang “MENGEMBANGKAN KELUARGA SEBAGAI GEREJA KECIL DI STASI ST MARKUS RAANAN LAMA, PAROKI ST PAULUS TOMPASO BARU”
1.2 Fokus Dan Rumusan Masalah
Pada penelitian ini, yang menjadi fokus penelitian sekaligus pembahasan peneliti adalah penerapan keluarga sebagai Gereja Kecil, pada keluarga-keluarga Katolik di Stasi St Markus Raanan Lama, Paroki St Paulus Tompaso Baru. Dengan rumusan masalah sebagai berikut;
1)      Bagaimana realitas gerejawi dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
2)      Bagaimana model-model keluarga sebagai Gereja kecil di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
3)      Manakah upaya pengembangan keluarga sebagai gereja kecil yang dapat dilaksanakan di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
1.      Mendeskripsikan realitas gerejawi dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil.
2.      Mendeskripsikan model-model kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil.
3.      Mendeskripsikan upaya pengembangan keluarga sebagai gereja kecil
1.4.  Manfaat penelitian
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh lewat penelitian ini, yakni sebagai berikut:
2.    Bagi Peneliti
Membantu peneliti agar semakin memahami dan menghayati akan hidup keluarga sebagai Gereja kecil yang sesungguhnya dan mengembangakan hidup perasekutuan dan pelayanan di tengah-tengah umat.
3.    Bagi Kelompok Sasaran
Penelitian ini diharapkan agar kelompok sasaran semakin memahami dan menghayati akan kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil yang sesungguhnya serta berusaha mengembangkan hidup persekutuan dan pelayanan bagi sesama umat.
4.      Bagi Lembaga STIPAS Don Bosco Tomohon
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat bagi lembaga STIPAS Don Bosco Tomohon dalam bentuk informasi tentang hidup keluarga sebagai Gereja kecil yang sesungguhnya dan menjadi satu pegangan untuk melaksanaan tugas dan tanggung-jawab sebagai anggota Gereja.












II
LANDASAN TEORI
2.1  Pemahaman Tentang Gereja
2.1.1 Arti Gereja dalam Perjanjian Lama
            (TIM IPI Malang 1993:10-11). Kata ‘Gereja’ berasal dari kata Portugis ‘Igreja’. Dalam perpindahan bahasa, huruf ‘I’ dihilangkan. Kata tersebut mempunyai kaitan dengan kata Spanyol ‘Igresia’, Prancis ‘Eglise’, Latin ‘Ecclesia’ dan Yunani ‘Ekklesia’. Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama dalam bahasa Indonesia disebut Gereja. Kata Ekklesia pertama-tama mempunyai arti yang bersifat profan: Sidang, perkumpulan, perhimpunan, dan peguyuban pada umumnya. Dalam terjemahan Alkitab yang berbahasa Yunani, kata Ekklesia diterjemahkan dari kata ibrani ‘qahal’.
            Dari sudut militer, qahal berarti kumpulan orang untuk memanggul senjata dan maju berperang. Dari sudut politik, qahal berarti himpunan para pemimpin Israel yang dikumpulkan oleh raja untuk mengambil keputusan. Dari sudut sosio religius,  qahal berarti bangsa yang dihimpun oleh Yahwe, yang dipanduhkan oleh aturan-aturan dari Yahwe dan yang mengambil bagian dalam perjanjian dengan-Nya. Dengan kata lain, umat yang menjawab panggilan Yahwe.
2.1.2 Arti Gereja dalam Perjanjian baru
(TIM IPI Malang 1993:11-12). Dalam perjanjian baru terdapat kata yang kini diterjemahkan Gereja yaitu Synagoge Ekklesia yang masing-masing dari bahasa Ibrani dan Yunani. Synagoge berarti pertemuan dan kelompok/himpunan para pengikut Yesus (Yak 2:2). Dalam Injil Synagoge berarti tempat pertemuan jemaat Yahudi atau jemaat Yahudi itu sendiri mewakili seluruh bangsa Yahudi. Dalam Wahyu 2:9, 3:9, Synagoge berarti Jemaah Yahudi. Sedangkan Ekklesia (Mat 16:8, 19:18) berarti jemaat Kristus, juga ditemukan dalam 1 Korintus.
Arti gereja dari beberapa pengarang dalam perjanjian baru.
1)      Dalam surat Paulus
Gereja dipakai untuk menyatakan:
-          Pemenuhan panggilan Allah bertolak dari pewartaan Yesus Kristus
-          Orang-orang yang terpilih dalam Allah
-          Jemaat dalam Kristus atau dari Kristus
-          Tubuh atau bangunan yang merupakan pernyataanKerajaan Kristus dan Kristus kepalanya.
2)      Dalam Injil Matius
Mat 18:17, Gereja diartikan sebagai sejumlah orang yang hidup dan bertemu di suatu tempat serta memandang diri mereka sebagai Israel Sejati karena disatukan oleh Yesus sang Mesias. Dalam pengertian yang Eschatologis Gereja dinyatakan oleh Matius sebagai perhimpunan Umat Allah yang benar.
3)      Dalam Injil Lukas
Lukas mengungkapkan kata Ekklesia (= Gereja) terutama dalam Kisah Para Rasul. Menurut Lukas Gereja berarti Jemaat Pengikut Kristus yang terwujud dalam setiap tempat, namun tetap satu.
4)      Yakobus menggunakan kata Ekklesia dalam arti teknis yaitu sebagai suatu perkumpulan lokal yang diorganisasikan secara jelas dengan pola synagoga Yahudi. (Yak 5:14)
5)      Dalam Surat kepada jemaat di Ibrani
Ibr 2:12. Gereja berarti perayaan kultis/peribadatan. 12:23. Gereja menunjukan Jemaat Allah yang bersatu dengan Bapa di Surga dalam kesempurnaan (lebih pada warna eschatologis).
2.1.3 Gereja Menurut Pengajaran Gereja
Refleksi baru tentang Gereja ditemukan dalam Konsili Vatikan II terutama yang tertuang dalam Konstitusi Dogmatis tentang Gereja yang dikenal dengan Lumen Gentium. (TIM IPI Malang 1993:16)
2.1.3.1 Gereja Sebagai Misteri
(TIM IPI Malang 1993:17). Misteri berarti rahasia namun dari masing-masing bahasa dan terjemahan seperti dalam Kitab Suci, memiliki penekanan yang berbeda. Ibrani menekankan suatu rahasia antara sahabat karib. Aram menekankan suatu rahasia karena menyangkut rencana keselamatan Tuhan khususnya mengenai masa depan.
Pada dasarnya antara Misteri dan sakramen mempunyai arti yang sama, tetapi Misteri merupakan bagian dalam sakramen. Gereja (dalam LG) disebut sakramen karena mengungkapkan rahasia keselamatan Allah kepada kita umat manusia secara universal dan dan merupakan tanda dan sarana kesatuan mesra antara umat manusia dengan Allah dan persatuan seluruh umat manusia. Kesatuan yang menyelamatkan.
2.1.3.2 Gereja Sebagai Sakramen Keselamatan
            (TIM IPI Malang 1993:17-18). Gereja tampil sebagai sakramen keselamatan bagi umat manusia karena dipenuhi dengan hidup Yesus Kristus oleh Roh kudus. Yang dimaksud dengan sakramen keselamatan adalah:
-          Kesatuan umat manusia dengan Allah dan persatuan umat manusia.
-          Dalam rangka sejarah keselamatan Allah, keselamatan berarti Allah memanggil mereka yang penuh kepercayaan mengarahkan pandangannya kepada Yesus pencipta keselamatan dan dasar persatuan serta kedamaian, dan membentuk mereka menjadi Gereja, supaya bagi semua dan tiap orang menjadi sakramen yang kelihatan dari kesatuan yang menyelamatkan itu.
Gereja adalah himpunan orang yang percaya kepada Kristus sebagai pencipta keselamatan. Dengan kata lain Gereja merupakan pengejawantahan Karya Keselamatan Tuhan. Gereja disebut sakramen keselamatan adalah karena imannya akan Yesus Kristus. Gereja tidak dapat memperoleh keselamatan dari dirinya sendiri. Inti proses penyelamatan itu adalah pada Kristus.
2.1.3.3 Gereja Sebagai Komunikasi dan Kesatuan Umat yang beriman kepada Kristus
(TIM IPI Malang 1993:18). Arti atau paham baru ini bertolak dari iman dan wahyu yang merupakan hal yang sangat dominan sampai terbentuknya Gereja.
1)      Arti Iman
Iman adalah penyerahan diri secara utuh kepada Allah. Untuk dapat beriman makan rahmat mutlak diperlukan karena rahmat Allahlah yang mendahului serta menolong dan dengan bantuan Roh Kudus yang menggerakkan hati dan membalikan manusia kepada Allah.
2)      Arti Wahyu
Wahyu adalah pemberian Diri Allah dan pemberian wahyu itu dijawab manusia dengan iman. Wahyu Tuhan merupakan panggilan pribadi yang ditunjukan kepada manusia secara pribadi pula. Panggilan baru menjadi Wahyu dalam arti yang sebenarnya/penuh kalau ditanggapi secara pribadi oleh manusia.
            Antara Iman dan Wahyu dapat dimengerti sebagai hubungan timbal balik antara Allah dan manusia. Hubungan baik itu disebut Wahyu kalau dilihat dari pihak Allah, dan dinamakan Iman kalau dilihat dari pihak manusia.
            Wahyu Allah terpenuhi dalam Diri Kristus. Iman berarti penyerahan total kepada Allah melalui Kristus, dengan demikian hubungan manusia dengan Allah hanya dapat terjadi melalui Yesus Kristus. Dengan mengimani Yesus orang wajib meneladani Kristus dan mencontoh sikap dasar dari hidup-Nya yang telah Dia nyatakan kepada Bapa dan terhadap sesama.
2.1.3.4 Gereja Sebagai Tubuh Kristus
(TIM IPI Malang 1993:19). Konsili Vatikan II dalam Lumen Gentium mengajarkan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus. Tubuh Kristus berarti: Kesatuan antara warga Gereja dengan Kristus yang dijembatani oleh Roh Kudus. Kendati ada kesatuan namun antara Kristus dan Gereja ibarat mempelai di mana ada perbedaan dari kepribadian masing-masing dalah kekhususan dan perbedaan terlaksana kesatuan cinta kasih di mana Kristus memberikan kekayaan-Nya kepada Gereja, dan Gereja menanggapinya dengan iman.
2.1.3.5 Gereja Sebagai Umat Allah
            (TIM IPI Malang 1993:19). Paham ini berarti Gereja dipanggil dan dipersatukan oleh Allah. Istilah umat Allah berlatar belakang pada sejarah keselamatan yang terbentang mulai dari panggilan Abraham dalam Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru. Jadi Gereja dipandang dalam rangka sejarah keselamatan. Dalam kenyataannya Gereja hidup dalam dunia profan dan sekular dan sedang dalam perjuangan (Gereja musafir) yang digerakan oleh Roh Kudus dalam satu Roh untuk menemukan jalan kepada Bapa. Dengan demikian pahan Gereja sebagau umat Allah juga bersifat eskatologis.
            Karena kehiduan Gereja digerakan oleh Kristus maka sebagai umat Allah yang keberadaannya dalam kesatuan dengan Kristus adalah terutama kesatuan iman. Dalam kesatuan dengan Kristus ini semua orang mempunyai kesamaan dalam martabatnya.
2.2  Pemahaman Tentang Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga Secara Etimologis
            Secara etimologis keluarga berasal dari bahasa Sansekerta: “Kulawarga”;”ras” dan “warga” yang berarti “anggota”.  Maka keluarga dapat dikatakan sebagai lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah atau dengan kata lain keluarga sebagai kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban, tanggung jawab di antara individu tersebut. (Wikipedia.com)
2.2.2 Pengertian Keluarga Menurut Para Ahli
            Fitzpatrick (2004), memberikan pengertian keluarga dengan cara meninjaunya berdasarkan tiga sudut pandang berbeda, yakni: (http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/)
1.      Pengertian keluarga secara Struktural: Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau ketidakhadiran anggota dari keluarga, seperti orang tua, anak dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa saja yang menjadi bagian dari sebuah keluarga. Dari perspektif ini didapatkan pengertian tentang keluarga sebagai asal-usul (families of origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).
2.      Pengertian keluarga secara fungsional: Definisi ini memfokuskan pada tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial. Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi perawatan, sosialisasi pada anak, dukungan emosi dan materi, juga pemenuhan peran-peran tertentu.
3.      Pengertian keluarga secara transaksional: Definisi ini memfokuskan pada bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa depan.
Pengertian lainnya tentang definisi keluarga menurut para ahli tentang keluarga:
1.      Duvall dan Logan (1986) : Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan, mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial dari tiap anggota keluarga.
2.      Balion dan Meglaya (1978) : Keluarga adalah dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
3.      Narwoko dan Suyanto, (2004) : Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga adalah :
·         Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah, perkawinan atau adopsi.
·         Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai peran sosial: Suami, istri, anak, kakak dan adik.
·         Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap memperhatikan satu sama lain.
·         Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.
Keluarga juga dapat dibedakan menjadi dua, yaitu keluarga inti (conjunal family) dan keluarga kerabat (consanguine family). Conjunal family atau keluarga inti (batih) didasarkan atas ikatan perkawinan dan terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka yang belum kawin. Sedangkan consanguine family tidak didasarkan pada pertalian suami istri, melainkan pada pertalian darah atau ikatan keturunan dari sejumlah orang kerabat. Keluarga kerabat terdiri dari hubungan darah dari beberapa generasi yang mungkin berdiam dalam satu rumah atau pada tempat lain yang berjauhan.
2.2.3  Keluarga Menurut Pandangan Kitab Suci
Kejadian 1 : 26 – 28 “ Berfirmanlah Allah: baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”Maka Allah menciptaka dian manusia itu menurut gambar-Nya, menurutgambar Allah diciptakan-Nya dia lsaki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.
Allah menciptakan laki-laki dan perempuan menurut citra Allah. Laki-laki dan perempuan diberkati oleh Allah. Pemberkatan Allah ini semakin diperkuat setelah Allah mempersatukan pria dan wanita hidup bersama di taman Eden. Pemberkatan pria dan wanita dapat diartikan sebagai pemberkatan nikah karena pria dan wanita telah diberkati dan diberi tugas untuk beranak cucu dan untuk menguasai bumi.
2.2.4 Keluarga Menurut Pandangan Gereja Katolik
Keluarga pada hakikatnya bersifat gerejawi; ungkapan ini dapat digunakan bila berkenan dengan realitas yang, disamping kodrati, juga esensinya bersifat adikodrati. Sebagai sel vital Gereja, keluarga merupakan bagian dari Gereja. Dengan demikian, keluarga kristiani bersama-sama membangun Gereja, di situ ada beberapa kebenaran dengan mengatakan bahwa Gereja berasal dari keluarga. Sebaliknya, orang dapat juga mengatakan bahwa keluarga merupakan perluasan Gereja, perpanjangan tangan Gereja. (Eminyan 2001 : 219)
Menurut surat apostolik “Familiaris Consortio” dengan cita-cita konsili, berisi tentang pengertian keluarga yaitu:
1.      Keluarga adalah ikatan antara orang-orang yang berusaha supaya cinta makin hari makin menghangatkan mereka.
2.      Keluarga berdasarkan perkawinan pria dan wanita sama derajadnya dan anak-anak adalah hadiah yang paling berharga.
3.      Keluarga merupakan sekolah kebajikan manusiawi tempat semua anggota keluarga belajar, saling memperhatikan dan melayani.
4.      Dalam keluarga perselisihan serta perbedaan unsur  lebih muda diatasi, karena adanya suasana saling mengerti dan kerukunan yang terbina.
5.      Keluarga adalah sel kehidupan masyarakat dimana merupakan tempat orang  mengetahui dan mempelajari secara praktis nilai-nilai keadilan, hormat dan cinta kasih.
6.      Keluarga adalah Gereja domestik atau Gereja rumah tangga tempat kehidupan iman, harap dan kasih kristiani yang berkembang dalam diri generasi muda.
2.2.5 Keluarga Menurut Bapa-Bapa Gereja
Para bapa Gereja pada abad-abad pertama menjelaskan makna perkawinan kristiani kepada umat dalam konteks dunia kafir yang menjadi lingkungan hidup mereka. Dari satu pihak orang-orang kristiani menjalani hidup perkawinan sama seperti orang-orang kafir. Dari pihak lain mereka sadar bahwa sebagai seseorang yang sudah dibabptis mereka menghayati hidup perkawinan secara berbeda. (Sujoko 2011 : 158)
Hidup Berkeluarga Sebagai Tugas Pelayanan Gereja
Sujoko (2011:160-163). Hidup berkeluarga adalah juga suatu pelayanan yang bercoral ekklesial. Para bapa Gereja menekankan kesamaan panggilan dan tugas pelayanan hidup perkawinan dengan bentuk hidup lainnya dalam Gereja. Beberapa ajaran pratistik tentang hal ini diambil dari tokoh-tokoh representatif seperti S. Yohanes Krisostomus (dari Timur) dan S. Agustinus (dari Barat).
Dua kutipan berikut ini memberikan penjelasan apa yang dimaksud oleh Krisostomus dengan hidup berkeluarga sebagai jalan kekudusan. Kutipan pertama dibuat oleh Rentinck dalam buku “Karya Pastoral di Antiokia pada abad ke-IV.” Krisostomus mengatakan:
“Rumah adalah sebuah Gereja kecil. Bapa keluarga mengganti uskup untuk untuk menggembalakan seisi rumahnya. Seperti uskup, bapa keluarga bertugas untuk mengajar seisi rumahnya. Setelah pulang dari Gereja para bapa keluarga harus menjelaskan isi khotbah yang ia dengan di Gereja kepada istri dan anak-anaknya. Rumah harus benar-benar menjadi sebuah Gereja di mana rahmat Roh Kudus dicurahkan dan damai meraja di sana.”
Kutipan kedua diambil dari komentar Krisostomus tentang Kitab Kejadian. Konteksnya adalah himbauan Uskup Konstantinopel kepada umat yang hadir dalam misa di Gereja sebagai berikut:
“Bila kalian sampai di rumah, siapkanlah dua meja: satu untuk makanan jasmani, yang lainnya untuk santapan Sabda Suci. Suami mengulang apa yang dikhotbahkan dalam perayaan suci. Para istri hendaknya belajar dari apa yang dikatakan oleh suami itu dan anak-anak hendaknya mendengarkan. Tiap orang dari kalian perlu membuat rumah kalian sebagai Gereja. Hai bapa-bapa, bukankah kalian bertanggungjawab atas keselamatan anak-anakmu? Kalian sangka tidak perlu mempertanggungjawabkan hal itu suatu hari kelak? Sama seperti kami para gembala memperhatikan keselamatan jiwa kalian, demikian pula para bapa keluarga bertanggungjawab kepada Allah atas keselamatan seisi rumahnya.”
St. Agustinus mengatakan:
“Bila kalian mendengar Tuhan Yesus berkata, dimana saya berada, distu hambaku berada, jangan hanya berfikir tentang para iman dan uskup. Kalian juga atas salah satu cara dapat mngabdi Kristus: hidup dengan baik, memberi derma, memperkenalkan nama-Nya dan ajaran-Nya. Demikianlah setiap bapa keluarga harus merasakan kewajiban itu. Ia harus mengasihi seisi rumahnya dengan kasih kebapaan. Demi cinta akan Kristus dan akan kehidupan kekal, didiklah anak-anakmu, nasehatilah mereka dengan kasih dan kewibawaan. Dengan cara itu kalian berfungsi sebagai imam bahkan sebagai uskup, yakni melayani Kristus supaya tinggal bersama Dia dimana Dia berada. Banyak orang seperti kalian telah mencapai kesempurnaan cinta dengan mengorbankan hidup. Banyak orang yang bukan uskup atau klerus, melainkan orang yang berkeluarga, para perawan, orang tua dan anak-anak, para bapa-ibu telah melayani Kristus sampai menumpahkan darah. Dan Allah Bapa menghormati siapa saja yang melayani Kristus.
Dari kutipan tersebut maka nampaklah bahwa percakapan para bapa Gereja tentang keluarga ditempatkan dalam konteks pembinaan umat. Yohanes Krisostomus dan Agustinus berbicara kepada para bapa keluarga dalam rangka membangun iman umat.
2.2.6. Perkawinan sebagai pilar utama keluarga katolik
Perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup yang dapat menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup. Dalam ajaran gereja juga mengajarkan bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup dan kasih mesra antara suami istri, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya, dibangun oleh perjanjian perkawinan yang tak dapat ditarik kembali. (GS 48).
Jadi perkawinan yang adalah ikatan suci demi kesejahteraan suami-istri dan kelahiran anak serta pendidikannya itu tidak hanya tergantug pada kemauan manusiawi semata-mata tetapi juga terhadap kehendak Allah. kekhasan perkawinan katolik yang berbeda dengan perkawinan pada umumnya adalah bahwa perkawinan katolik diteguhkan dengan tata peneguhan kanonik. Oleh karena itu, suami-istri seharusnya dapat menyadari bahwa perkawinan yang mereka lakukan itu bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan psikologis dan biologis masing-masing, tetapi perkawinan katolim itu mengandung sebuah tugas perutusan, yakni menghadirkan cinta kasih Allah dalam hidup dan tindakan yang konkret. (KWI 2011 : 8)
2.2.6.1 Sifat Perkawinan Katolik
Sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik adalah Monogam (memiliki satu pasangan) dan Indissolibilitas (tak terputuskan). Persatuan yang mesra dalam suatu ikatan perkawinan merupakan tindakan saling menyerahkan diri antara dua pribadi dan menuntut kesetiaan suami-istri sepenuhnya demi kesejahtraan anak. Persatuan Laki-laki dan perempuan yang diikat dalam cinta kasih perkawinan itu merupakan tanda dan sarana cinta kasih Allah yang menyelamatkan. (KWI 2011 : 8)
Konon 1056 menetapkan :
Sifat-Sifat Hakiki perkawinan ialah monogam dan tak ter-putuskan, yang dalam perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

Dari kedua Sifat tersebut sebenarnya tidak bisa disebut begitu saja sebagai unsur konstitutif perkawinan, seperti kesepakatan nikah. Meskipun demikian, kedua kekhasan itu tetap disebut esensial, karena terletak dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas natural. Kedua sifat itu merupakan data hukum ilahi kodrati, yang sudah tertanam dalam kodrat menusia sebagai tatanan fundamental bagi kebaikan umat manusia. Karena itu, sebenarnya tidak ada perbedaan sama sekali antara perkawinan sakramental antara dua orang yang dibabtis dan perkawinan natural antara orang-orang yang tidak dibabtis. Artinya keduanya bersifat monogam dan tak terputuskan, karena kedua sifat ini dimiliki oleh setiap perkawinan. Namun bagi orang-orang kristiani kedua sifat hakiki yang sudah terkandung dalam perkawinan itu dikukuhkan secara khusus atas dasar sakramen. Hal ini berarti kedua sifat tersebut menjadi semakin kuat eksistensi dan tuntutannya dalam perkawinan kristiani. Suami-istri kristiani mendapat bantuan rahmat adikodrati khusus dari Kristus untuk menghayati perkawinan yang monogam da tak terputuskan itu, sehingga mereka dapat menjadikannya tanda kehadiran cinta kasih yang monogam dan tak terputuskan antara Allah dan Gereja yang dicintai-Nya. (Raharso 2006 : 83)
2.2.6.2 Hakekat Perkawinan Katolik
Hakikat perkawinan menurut Gilarso (1996:9-11) dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Perkawinan merupakan persekutuan hidup dan cinta.
Perkawinan merupakan suatu dasar persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup yang didasarkan atas cinta kasih yang tulua. unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada pasangannya “dalam untung dan malang” dan bertanggung jawab dalam segala situasi.
2.      Perkawinan merupakan lembaga sosial.
dalam masyarakat, perkawinan dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang menghalalkan persekutuan pria dan wanita, hubungan seksual dan mendapatkan keturunan. oleh sebab itu, perkawinan dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara.
3.      Perkawinan merupakan lembaga hukum negara.
Perkawinan adalah ikatan resmi dan sah. Perkawinan bukanlah suatu ikatan bebas, bukan soal saling mencintai, melainkan soal masyarakat dan hhubungan sosial. maka perkawinan diatur  dalam perundang-undangan pemerintah yaitu UU Perkawinan no. 2 Tahun 1974.
4.      Perkawinan merupakan Sakramen.
Perkawinan merupakan sakramen karena persekutuan antara dua orang yang dibaptis yang merupakan perayaan iman Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Rahmat yang diterima adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua: rahmat yang menyempurnakan cinta dan persatuan antara mereka : rahmat yang membantu mereka dalam hidup berkeluarga.
2.2.6.3 Tujuan Perkawinan Katolik
Perkawinan dapat dilaksanakan dengan tujuan yang berbeda-beda. Tujuan yang harus dilaksanakan oleh pasangan suami-istri yang sudah menikah yakni :
Ø  Perekembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri
Dalam suatu perkawinan, suami dan istri saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan. Saling menyerahkan diri dan saling menerima antara suami istri merupakan sumber dan dasar untuk memahami secara tepat arti kesejahteraan suami-istri. Kesejahteraan suami dan istri adalah cinta-kasih suami dan istri itu sendiri.
Kanon 1061 menetapkan :
“Perkawinan sah antara orang-orang yang dibaptis disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum bila suami-istri telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara manusiawi yang pada sendirinya terbuka pada kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menurut kodratnya terarahkan dan dengannya suami-istri menjadi satu daging”.

Kasih yang telah bersemi antara pria dan wanita masih harus terus dikembangkan dan dimurnikan, sehingga sungguh saling membahagiakan. Cinta bukan semata-mata dorongan nafsu, rasa tertarik dan rasa simpati, melainkan suatu keputusan pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya. (Gilarso 1996:9-11)
Ø  Kelahiran dan pendidikan anak.
Setiap perkawinan dan cinta kasih suami-istri menurut kodratnya terarah kepada kelahiran (procreatio) dan pendidikan anak (educatio). Setiap perkawinan dan keluarga memiliki tujuan kodrati untuk menciptakan keturunan dan meneruskan generasi (transmission of life). Dalam hal ini suami-istri menjadi pelayan dan rekan kerja Allah dalam karya penciptaan manusia-manusia baru. bahkan biasanya dikatakan bahwa perkawinan dan keluarga adalah satu-satunya institusi natural yang bertujuan untuk melahirkan dan mendidik anak, untuk melawan pandangan yang mengatakan bahwa anak bisa diadakan melalui cara lain yang bukan perkawinan atau keluarga. (Raharso 2006:54-55)
Dalam ensikliknya berjudul Humanae Vitae (1968), Paus Paulus VI mengajarkan :
“Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan secara bijaksana oleh Allah Pencipta untuk mewujudkan rencana kasih-Nya bagi umat manusia. Melalui penyerahan diri timbal balik yang khas, personal dan eksklusif, suami-istri membentuk persekutuan hidup untuk saling membantu mencapai kesempurnaan pribadi, serta untuk bekerja sama dengan Allah dalam menciptakan generasi baru dan mendidiknya”.
Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan :
“Dalam realitasnya yang terdalan, cinta-kasih pada hakikatnya adalah pemberian diri. Cinta-kasih suami-istri, yang mengantar mereka untuk saling mengenal hingga menjadikan mereka “satu daging”, tidak terkuras habis hanya untuk suami-istri berdua saja, mungkin, untuk mana mereka menjadi rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan menumbuh-kembangkannya menjadi pribadi manusia. Demikianlah, ketika suami-istri saling memberikan diri, mereka melangkah melampaui relasi mereka sendiri dengan melahirkan anak: cermin hidup dari cinta-kasih mereka sendiri, tanda tetap dari ke-satu-an relasi mereka, dan ungkapan yang nyata dan tak terpisahkan dari status mereka sebagai ayah dan ibu”.

2.2.6.4  Tugas Keluarga Katolik
Seruan Apostolik Familiaris Consortio (Kerukunan keluarga) dari Paus Yohanes Paulus II (Dokpen KWI, 1993:33-34) menekankan pentingnya peranan keluarga kristiani dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Pada saat sinode para uskup sedunia pada tahun 1980 di Roma, dinyatakan bahwa keluarga sebagai komunitas hidup dan cinta mempunyai 4 tugas penting : 1. Membentuk Komunitas antar pribadi, yang sederjat atas dasar cinta yang eksklusif dan berciri tidak terceraikan. 2. Mengabdi kepada kehidupan, yakni bahwa cinta suami-istri harus bersifat subur, baik dalam arti terbuka kepada keturunan maupun dalam arti membuahkan kekayaan moral dan spiritual. 3. Ikut serta dalam pembangunan masyarakat, yakni bahwa keluarga bukan saja merupakan sel masyarakat yang pertama dan sekolah hidup bermasyarakat, tetapi juga mempunyai tugas dan peranan sosial kemasyarakatan. 4. Ikut serta dalam hidup dan pengutusan Gereja, yakni bahwa keluarga kristiani harus membentuk diri sebagai “Gereja Mini”, membangun umat Allah dengan membangun diri sebagai umat Allah pula, menjalankan tugas kenabian (mengajar), menguduskan dan kegembalaan sesuai peranan dan fungsi masing-masing.
2.2.6.5 Kesulitan-kesulitan Hidup Berkeluarga
Sujoko (2011:144-149). Gereja Katolik mengajarkan bahwa hidup berkeluarga adalah suatu panggilan yang berasal dari Tuhan. Sebagai bentuk panggilan, hidup berkeluarga menuntut tanggung jawab dan kesetiaan penuh. Hidup berkeluarga bukanlah suatu hal yang mudah. Hidup berkeluarga menjanjikan banyak kemungkinan kebahagiaan, namun sama banyaknya pula mengandung kemungkinan penderitaan dan kesulitan.
Ø  Menjaga kesetiaan janji perkawinan
Hal yang paling penting dalam relasi atau hubungan pria dan wanita bukanlah hanya soal jatuh cinta, melainkan kesetian dalam cinta tersebut. Jatuh cinta adalah suatu perasaan afektif emosional atau bahkan mungkin dorongan biologis-natural karena daya tarik fisik dari dua manusia berbeda kelamin. Kesetiaan cinta adalah suatu keputusan kehendak untuk tetap pada komitmen atau tanggungjawab membangun relasi yang menetap. Kesetiaan cinta adalah hal yang lebih sulit untuk dipertahankan dari pada perasaan jatuh cinta untuk pertama kalinya. Kesetiaan cinta lebih merupakan seni membangun relasi dan seperti halnya menghasilkan setiap karya seni, hal mencitai membutuhkan disiplin diri, konsentrasi, pemberian waktu, tenaga yang sengaja disediakan untuk membangun cinta itu.
            Kesulitan dibidang kesetiaan cinta lebih berat lagi diuji apabila pada saat-saat yang mengecewakan, masing-masing lari dari kenyataan atau bahkan lari mencari orang lain. Banyak pasangan yang kandas di tengah jalan karena ketidakmampuan mereka keluar dari masa krisis itu. Mereka tidak mampu mengatasi kekecewaan dan kejengkelan atau tidak mampu memaafkan kesalahan-kesalahan pasangan sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah. Kesetiaan cinta suami-istri bukanlah hal yang mudah, namun sangat penting dalam perkawinan.
Ø  Kesulitan berkomunikasi
Dalam perkawinan, komunikasi adalah cara membengun relasi untuk mempertahankan cinta kasih suami-istri. Komunikasi suami-istri adalah komunikasi yang paling dekat, akrab, intim dan mesra dibandingkan dengan komunikasi manapunm di antara manusia. Mereka dapat menggunakan bahasa-bahasa sandi yang hanya mereka sendiri yang tahu. Suami-istri adalah dua orang yang berkomunikasi secara total dalam keseluruhan hidup.
Komunikasi pasangan sumi istri bukanlah merupakan sutu hal yang mudah. Diperlukan keseimbangan antara keintiman dan kebebasan. Dari satu pihak, komunikasi dapat berjalan dengan baik kalau pasangan suami-istri tersebut akrab dan dekat. Mereka perlu saling terikat dan terlibat dalam banyak hal dan menikmati suasana saling membagi cinta.
Kalau pasangan tidak mampu menciptakan keseimbangan antara keitiman dan kebebasan, maka komunikasi menjadi sulit. Keitiman tanpa kebebasan membuat pasangan merasa terbelenggu dan dibatasi ruang geraknya. Ia merasa dikekang dan diatur dalam segala hal. Cinta yang terlalu posessif  (rasa memiliki secara berlebihan) akan membuat pasangan menurut secara terpaksa. Sebaliknya, kebebasan tanpa keintiman membuat pasangan ada dalam bahayanya penyelewengan. Pasutri semacam itu adalah dua orang bebas, yang masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan hidupnya sendiri. Ikatan perkawinan mereka hanya bercorak formal tanpa adanya perasaan kedekatan sebagai suami-isteri.
Ø  Kesulitan Keluar Dari Konflik
Konflik tidak mungkin dihindari dalam setiap perkawinan. Orang tidak usah mengharapkan bahwa kebahagiaan perkawinan adalah kerukunan tanpa konflik: Kadang-kadang konflik itubahkan dipelukan sebagai “bumbu penyedap” atau variasi hidup rumah tangga. Hal itu dkatakan karena memang konflik tidak pernah bisa dihindari sama sekali dalam hidup berkeluarga. Sehingga yang menjadi persoalan sesungguhnya bukanlah adanya konflik, melainkan bagaimana caranya keluar dari konflik. Konflik akan selalu terjadi karena yang menjadi sumbernya adalah kenyataan bahwa pasutri hidup bersama. Kalau seseorang hidup sendirian di tengah hutan, pasti tidak akan mengalami konflik. Kebersamaan hidup dua pribadi suami-istri itulah yang memungkinkan adanya salah paham, perbedaan pendapat, cemburu, minta perhatian, berbeda keinginan dan selera yang ujung-ujungnya menghasilkan pertengkaran.
Konflik bisa terjadi menyangkut cara mendidik anak, soal anggaran belanja yang kurang, soal hubungan dengan keluarga sampai pada soal-soal pribadi menyangkut kesetiaan suami dan istri. Konflik yang menyangkut kesetiaan suami istri merupakan konflik yang paling serius dan jika tidak terselesaikan, akan membahayakan ikatan perkawinan pasutri tersebut. Pengingkaran terhadap janji perkawinan merupakan masalah yang paling berat yang dapat menhancurkan kehidupan rumah tangga.  Menghadapi akan situasi seperti ini, pasangan ditantang untuk memiliki semangat pengampunan. Tanpa adanya pengampunan dari salah satu pihak dalam pasutri maka hidup rumah tangga akan sulit dipertahankan. Biasanya faktor yang menguatkan keadaan tersebut yakni anak-anak mereka sendiri. Walaupun secara pribadi mereka tidak mampu lagi untuk hidup bersama, namun demi anak-anak kadang-kadang pasangan suami istri tersebut berpikir dua kali untuk bercerai. Kehadiran anak-anak sungguh-sungguh merupakan kekuatan dan semangat hidup dalam berkeluarga.
2.3 Keluarga sebagai Gereja Kecil
Dalam Ensiklik Familiaris Consortio menyebut secara jelas keluarga sebagai gereja mini (FC 49). Sebutan keluarga sebagai gereja mini merujuk pada panggilan keluarga yang juga merupakan panggilan gereja. Gereja dipanggil untuk mewartakan kerajaan Allah demikian pula halnya keluarga sebagai unit terkecil dari gereja. Dengan kata lain keluarga juga dipanggil untuk membangun kerajaan Allah dalam sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi gereja. 
Keluarga sebagai gereja kecil atau seperti kata St Yohanes Christotomus sebagai gereja rumah tangga adalah tempat Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya kerajaan Allah. Angggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup kekal adalah”peserta-peserta dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet 1,4). Artinya setiap anggota keluarga itu mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI mempertajam pengertian keluarga sebagai gereja kecil dalam ensikliknya Evangelii Nutiandi, beliau menulis:  ”…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja, keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.  Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena itu, setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen. Mereka pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki tingkah laku yang sesuai dengan semangat injil. (http://www.carmelia.net/)
2.3.1 Membangun Dasar-dasar Penting dalam Sebuah Keluarga
2.3.1.1 Cor Unum Unima Una
(Komkat Keuskupan Manado 2010:9) Hendaknyalah kita sehati dan sejiwa (seia-sekata), sebagai keluarga kristiani yang sejati. Keluarga yang sehati dan sejiwa adalah sebuah keluarga yang kendati berbeda-beda tetapi mempunyai satu tujuan, satu semangat, satu rencana, satu kesepakatan hidup yang sama.
Tanda-tanda sebuah keluarga yang sehati dan sejiwa sebagai keluarga kristiani ialah:
-          Seluruh anggota keluarga memiliki hubungan yang harmonis. Komunikasi yang lancar antar anggota keluarga, penuh dengan canda-ria, saling memberi senyum satu dengan yang lain, sering mengungkapkan rasa sayang dengan ciuman di pipi atau dahi, bahkan adakalanya saling “memanjakan” satu sama lain.
-          Bapak, ibu, dan anak-anak saling bertukar pikiran tentang segala hal. Jika ada sesuatu yang mengganjal maka anggota keluarga saling men”curhat”-kannya satu sama lain. Perbedaan pendapat tentu saja boleh ada dan boleh dikemukakan dengan baik. Anak-anak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan peristiwa atau pengalaman di “dunia”nya. Orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu pula sebaiknya.
-          Bapak, ibu dan anak-anak kompak dalam melakukan suatu kegiatan yang disepakati bersama, misalnya: pergi ke gereja bersama setiap hari Minggu dan hari raya, duduk berdampingan, berdoa bersama saat makan, sebelum dan sesudah tidur, atau bahkan disaat saling menguatkan (saling mendoakan sambil menumpangkan tangan).


2.3.1.2 Credo
(Komkat Keuskupan Manado 2010:20). Credo atau saling percaya dalam keluarga. Artinya saling mempercayai antar anggota keluarga, suami mempercayai istri, istri mempercayai suami. Orangtua  mempercayai anak,anak mempercayai orangtua. Kakak mempercayai adik, adik mempercayai kakak. Anggota keluarga satu dengan yang lainnya saling menghargai dan mempercayai. Dengan kata lain: semuanya dapat dipercayai.
Tanda-tanda keluarga yang saling mempercayai:
-          Suami tidak mencurigai istri yang akan ikut arisan, atau mau keluar rumah.
-          Istri tidak cemas kalau suami pergi kerja, atau terlambat pulang.
-          Orangtua tidak kawatir meletakan barang berharga di rumah; anak-anak tahu menghargai barang milik orang lain
-          Anak-anak terbuka mempercayakan suka dukanya atau rahasia pribadinya pada orangtuanya, orangtua menjaga rahasia cerita anak-anaknya.
-          Kakak adik terbuka: suka dukanya dibagikan tanpa beban. Semua anggota keluarga dapat dipercaya.
2.3.1.3 Sanctus, Sanctus, Sanctus
(Komkat Keuskupan Manado 2010:30). Setiap keluarga dipanggil menjadi keluarga kudus. Keluarga kudus berarti semua anggota keluarganya berusaha hidup suci, saleh dan murni, baik dalam hati dan pikiran, dalam perkataaan dan perbuatan.
Tanda-tanda sebuah keluarga kudus ialah:
-          Semua anggota keluarga berpikir dan berbuat baik, suci, murni, kudus; tak ada kata-kata kotor, tak ada pikiran-pikiran jahat, tak ada tindakan-tindakan yang melawan kekudusan Tuhan.
-          Semua anggota keluarga menguduskan diri melalui doa pribadi dan doa bersama, sakramen-sakramen terutama sakramen pengampunan dan ekaristi, rajin membaca Kitab Suci; terdapat banyak lagu-lagu rohani, buku-buku rohani yang didengar, dibaca dan disharingkan.
-          Seperti Yosef dan Maria, keluarga bisa saja mengalami tantangan, kesulitan, kemiskinan, penolakan, pengungian, beban kehidupan yang berat, namun mereka tetap dekat pada Tuhan, menjaga dan mengembangkan tugas dan tanggung jawab dengan sepenuh hati.
2.3.1.4 Ad Gentes
(Komkat Keuskupan Manado 2010:41-42). Kata ‘Ad Gentes’ berarti Kepada Para Bangsa. Sesudah mengupayakan kemajuan dalam hal sehati sejiwa, saling mempercayai, dalam hal kemurnian dan kekudusan, keluarga harus memperhatikan salah satu tugasnya yakni: bertumbuh dalam iman dan mewartakan atau memberi kesaksian tentang iman kristiani. Keluarga dipanggil menjadi gereja kecil atau gereja rumahtangga (ecclesiola, ecclesia domestica); artinya keluarga yang beriman, yang memiliki kebiasaan kristiani. Nilai-nilai ini mau tidak mau akan terpancar keluar, orang akan bisa melihat dan mengalaminya.
Manakah keluarga yang ‘ad gentes’?
-          Anggotanya hidup dalam iman akan Tuhan: artinya Tuhan menjadi pusat keidupan dan apa yang dihidupi, dilaksanakan, sebab iman tanpa perbuatan adalah mati. Semua anggota keluarga mengasihi dan menghormati Allah dan kehendak-Nya.
-          Keluarga menjadi sekolah iman: pusat pembinaan kebiasaan dan budaya katolik; keluarga menjadi sekolah keutamaan-keutamaan kristiani: sosial, religiositas, akal budi, sopan santun; orang-tua menjadi ‘guru iman’ begitu juga kakak-kakak terhadap adik-adiknya.
-          Bagai gereja kecil: keluarga memiliki kebiasaan berdoa bersama, membaca Kitab Suci atau buku-buku rohani, saling mendoakan sesama anggota keluarga; bahkan mempunyai kebiasaan mengunjungi/mendoakan orang lain.
-          Kerelaan untuk berbagi dengan sesama: keluarga yang murah hati, dalam hal-hal materi maupun hal-hal rohani; dengan mudah membagi kelebihan materinya dan juga kekayaan rohani: terutama bagi mereka yang amat membutuhkan. Anak-anak paka dan solider dengan sesamanya yang lebih malang: children helping children, family helping family, melalui: doa, derma, kurban, kesaksian. Keluarga rela membantu dan menolong sesama umat, juga kepentingan-kepentingan gereja, tanpa pamrih dan sepenuh hati.
-          Terlibat aktif dalam kelompok/komunitas basis/wilayah rohani: merasa diri sebagai bagian dari umat Allah: hadir dalam pertemuan wilayah rohani dihayati sebagai saat membahagiakan bertemu dengan tetangga, kehadiranku membawa berkat bagi keluarga yang dikunjungi, walau hanya menyapa, memberi senyum tulus.
-          Keluarga adalah menjadi house of God (rumah Allah) karena kebaikan Allah ditampilkan, kelihatan dari kehadiran setiap anggota keluarga, Allah tinggal dalam rumah karena cara hidup setiap anggota. Keluarga menjadi house of love (rumah cinta) karena setiap anggota keluarga saling memperhatikan, saling menyapa, ada tawa ria dan canda. Keluarga adalah house of unity (rumah persekutuan) karena masing-masing merasa satu keluarga, bersama mengusahakan kekudusan, ada rasa bersalah bila mengingkari komitmen menjadi keluarga kudus.
Keluarga adalah lambang persekutuan Allah; Bapa, Putra dan Roh Kudus. Masing-masing pribadi punya peran, tugas dan tanggung jawab. Dalam persekutuan dan saling melengkapi masing-masing mengungkapkan perannya bagi kebaikan sesama anggota keluarga/umat. Bapa yang mencipta, Putra yang menebus dan Roh Kudus yang membimbing manusia untuk kembali pada keselamatan Allah.
Hidup berkeluarga ternyata bukan hanya urusan dua orang saja seorang suami dan seorang istri. Dalam satu keluarga yang kudus perlu ada pihak ketiga yaitu Allah yang menjadi dasar rumah tangga. Allah inilah juga yang menjadi dasar keluarga menjadi keluaraga ‘misioner’, menjadi ‘utusan Allah’ di tengah-tengah dunia, yang ad gentes.
2.3.1.5 Mea Culpa, Mea Culpa
(Komkat Keuskupan Manado 2010:52). Keluarga dipanggil menjadi keluarga yang bertobat dan yang mengampuni, yang berani berkata mea culpa, mea culpa, artinya: saya berdosa, saya bersalah. Salah satu ciri keluarga sejati ialah: jika ada yang bersalah, ia mengaku salah, ia bertobabt dan mendapatkan pengampunan. Semua anggota keluarga berupaya saling menolong agar tidak terjadi dosa dan pelanggaran, dan agar terjadi pertobatan dan pengampunan.
Tanda-tanda keluarga yang bertobat dan mengampuni:
-          Jika ada yang bersalah, ia menyesal dan bertobat; yang lain pun memaafkan dan mengampuni. Tiada penghukuman, tiada penghakiman, hanya ada kesempatan hidup baru, kesempata berubah.
-          Tidak ada kebiasaan menyimpan marah, dendam, ancaman; sebelum matahari terbenan semua akan mencari kesempatan untuk terjadinya perdamaian.
-          Orang-tua dan anak saling mengingatkan akan pentingnya dan indahnya sakramen pengampunan
2.3.2. Keluarga adalah Gereja Rumah Tangga
Gereja rumah tangga adalah tempat di dalam Gereja universal dimana kehidupan dikandung, dipelihara, dan dicintai. Keluarga adalah sekolah cinta kasih bagi seluruh Gereja. Keluarga adalah sumber cinta kasih dari kehidupan pasangan suami istri dan kehidupan baru yang mereka mulai dan pelihara. Tanpa Gereja rumah tangga, tidak ada Gereja, karena didalamnyalah cinta kasih, yang merupakan hakikat Allah, dijaga tetapi hidup. (Maurice 2001 : 242)
2.3.3. Hidup Keluarga Sebagai Realitas Multi-Dimensional
            Hidup berkeluarga adalah realitas yang multi dimensional. Hidup berkeluarga memiliki banyak segi dan kita perlu memperhitungkan setiap segi itu supaya memiliki gambaran yang utuh tentang hidup berkeluarga.
2.3.3.1 Hidup berkeluarga sebagai realitas sosial.
Dalam pengaturan perkawinan dan keluarga, dimensi sosial ini kadang-kadang lebih penting dari pada cinta dan daya tarik seksual. dalam masyarakat tertentu perkawinan menjadi urusan adat dan orang tua. sering terjadi bahwa kepentingan adat, keluarga besar, marga, orang tua lebih kuat dari pada perasaan cinta personal semata. hal itu menunjukkan bahwa perkawinan memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. (Sujoko 2011:118)
2.3.3.2 Realitas Ekonomis
            Kebutuhan ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia. Manusia membutuhkan pangan, sandang dan papan, kesehatan, pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk hidup dan berkembang. Hidup berkeluarga memiliki dimensi ekonomis. Para anggota keluarga membutuhkan kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun untuk menhasilkan pendapatan guna mencukupi kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan pekerjaan atau kegiatan ekonomi lainnya yang menjadi sumber panghasilan. Masalah Keuangan merupakan masalah yang sangat penting dalam hidup berkeluarga. Kesatuan suami-istri yang harmonis tidak bisa dilepaskan dari masalah pengaturan keuangan. Apabila suami-istri saling mempercayakan harta dan keuangan mereka dengan jujur dan tulus, keduanya terbantu dalam proses pemberian diri satu kepada yang lain, di mana harta kita berada, disana hati kita juga berada. (Sujoko 2011:118-119)
2.3.3.3 Realitas seksual
Secara natural cinta pria dan wanita yang disatukan dalam perkawinan bercorak seksual. Pada awalnya mereka saling jatuh cinta juga karena daya tarik seksual. Pria dan wanita saling menyerahkan diri dalam perkawinan karena mereka ingin mengalami hubungan seksual yang membahagiakan dan menghasilkan keturunan. Para suami-istri yang telah menikah sah perlu memiliki pandangan yang sehat tentang seks. Seks bukanlah sesuatu yang memalukan, melainkan suatu anugrah Allah yang sangat indah. Tubuh manusia adalah sesuatu yang indah. Para pelukis, pemahat dan juru potret telah bekerja selama berabad-abad untuk menangkap dan menampilkan keindahan tubuh manusia. Tubuh juga adalah tempat yang suci, tempat Tuhan bersemayam. Dalam teologi kristiani, Allah berkenan menjadi “daging” dalam misteri inkarnasi untuk menjadi sama dengan manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa. Keindahan tubuh menjadi nyata dalam ungkapan seksual dan pernyataan cinta dalam perkawinan. (Sujoko 2011:120-122)
2.3.3.4 Realitas relasional-biologis
            Dari pusat kehidupan keluarga yaitu hubungan seksual suami-istri lahirlah anak-anak sebagai buah cinta mereka. Untuk pertama kalinya manusia diikat dengan hubungan darah. Anak-anak yang lahir memiliki darah yang berasal dari bapa dan ibunya. Seringkali secara fisik anak-anak mirip dengan orang tuanya. Demikian pula hubungan antara kakak dan adik dalam keluarga diikat oleh hubungan sedarah atau relasi biologis. Hubungan mereka secara natural menjadi begitu dekat dan akrab karena mereka kakak-beradik yang memiliki asal-usul yang sama. (Sujoko 2011:122)
2.3.3.5 Realitas relasional-afektif-emosional
Hidup berkeluarga juga merupakan lingkungan kehidupan yang sarat dengan muatan-muatan afeksi dan emosi. Hal itu berdasarkan kenyataan bahwa rumah tangga itu sendiri dibangun atas dasar afeksi dan emosi yang disebut cinta dan kasih sayang antara suami istri. Suami-istri pada mulanya bukan siapa-siapa, namun kemudian karena cinta mereka dapat menjalin kebersamaan hidup yang lebih kuat dari relasi manapun. Ketertarikan timbal balik yang penuh dengan persamaan cinta, afeksi dan emosi itulah yang mendasari relasi suami istri. Kemudian setelah anak-anak lahir, hubungan efektif dan emosional itu terjadi hari demi hari di dalam lingkungan keluarga sejak anak lahir sampai dewasa. Keluarga yang harmonis akan menjadi lingkungan afektif-emosional yang sehat bagi anak-anak. sebaliknya dari keluarga broken home akan dihasilkan pula anak-anak yang hidupnya pahit dan penuh penderitaan. (Sujoko 2011:123-124)
2.3.3.6 Realitas edukatif
            Dimensi lain kehidupan keluarga ialah peranannya dalam mendidik anak-anak. Orang tua memiliki tugas luhur untuk melahirkan dan mendidik anak-anak. Keluarga sebagai realitas edukatif memiliki peranan yang sangat vital. Anak-anak belajar kebersihan dari lingkungan keluarga. Anak-anak belajar kejujuran dan kesederhanaan dari sikap-sikap orang tuanya sendiri. Semakin banyak keluarga yang kokoh, tentu masyarakat dan Gereja juga semakin baik. Semakin banyak keluarga yang rusak, maka masyarakat juga akan rusak. Peranan keluarga sebagai relaitas edukatif sangatlah besar. (Sujoko 2011:124-125)
2.3.3.7 Penjamin kesehatan (bersih dan higienis)
Kesehatan adalah bagian yang sangat penting bagi manusia. Keluarga hendaknya menusahakan kesehatan bagi para anggotanya secara maksimal. Usaha itu bisa dilakukan secara preventif dan curatif. Secara preventif keluarga menyediakan makanan yang bergizi, keadaan rumah yang bersih dan ventilasi yang baik, pakaian yang dicuci bersih, waktu istirahat yang cukup, ada waktu olahraga dan pelbagai cara lainnya yang bisa berguna untuk mempertahankan kebugaran jasmani. Secara curatif berarti keluarga mengusahakan kesembuhan bagi anggotanya yang sakit. Keluarga adalah tempat dimana setiap anggotanya bergantung terlebih pada waktu sakit. Anggota keluarga yang sakit hendaknya dirawat sebaik-baiknya sampai sembuh. (Sujoko 2011:126)
2.3.3.8 Realitas rekreatif
            Rekreasi adalah salah satu unsur yang penting bagi kehidupan manusia. Rekreasi adalah usaha untuk menciptakan kembali, penyegaran kembali, pemulihan tenaga dan semangat kembali setelah mengalami suatu kejenuhan, kepenatan dan kelelahan. Keluarga hendaknya menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan bagi para anggotanya. Alangkah baiknya apabila keluarga itu bisa menciptakan suatu suasana rekreatif yang menyegarkan. Keluarga hendaknya menjadi tempat dimana para anggotanya ingin cepat pulang ke rumah. (Sujoko 2011:126)
2.3.3.9 Realitas Regilius
Dimensi religius hidup berkeluarga nampak dalam spiritualitas hidup perkawinan yang ditandai oleh pengorbanan, pelayanan, pemberian diri. Jika kita mengartikan religiusitas dalam arti kerohanian yang lebih luas dari praktek keagamaan, maka bagi keluarga yang tidak beragama, keluarga modern yang humanispun kita bisa bicara dimensi rohani yang nampak dalam kesetian, kerukunan, cinta kasih, saling menolong, saling memberikan diri. Jika kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni bila ada konflik termasuk dalam dimensi religius itu. (Sujoko 2011:128-129)
2.3.4 Peran dan Tugas Keluarga sebagai Gereja Kecil
Keluarga tergolong kaum awam dalam Gereja. Sebagai kaum awam, keluarga dipanggil dan diutus untuk ikut mengemban tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus dengan cara mereka sendiri. (LG.31). Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Lumen Gentium 35 mengatakan bahwa para awam menjadi bentara yang tangguh dan pewarta iman akan hal-hak yang diharapkan. Penyiaran Injil Yesus Kristus yang disampaikan lewat kesaksian hidup dan kata-kata, memperoleh ciri yang khas dan daya guna yang istimewa justru karena dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini. Dan suami-istri mempunyai panggilan yang khusus yakni memberi kesaksian iman dan cinta kasih akan Kristus seorang terhadap yang lain, dan kepada anak-anak mereka. (Hello 2004:63)
Keluarga bukan hanya merupakan sebuah komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup keluarga ini menampakan hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia), mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian (Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma) yang baru. Maka keluarga adalah sungguh-sungguh Gereja rumah-tangga karena mengambil bagian dalam lima tugas Gereja. (KWI 2011:15)
2.3.4.1 Keluarga Sebagai Persekutuan Iman (Koinonia)
Gereja adalah persekutuan umat beriman. Demikian pula keluarga adalah persekutuan  orang-orang beriman. Para anggota disatukan dalam iman yang sama. Dengan sendirinya keluarga seperti ini hanya berlaku untuk keluarga yang semua anggota keluarganya beriman katolik. Keluarga kawin campur atau keluarga yang anggotanya adalah pemeluk beberapa agama tidak termasuk dalam kategori ini. Karena dimensi koinonia mengutamakan pentingnya kesatuan iman. Keluarga kristiani mempersiapkan , melaksanakan, atau menghidupi rumahtangganya dalam kerangka iman katolik. Relasi hidup berkeluarga sebagai kesatuan iman nampak dalam persatuan suami-istri dan persatuan orang tua dengan anak-anaknya. Beberapa unsur dimensi koinonia dalam kehidupan keluarga yakni membina persatuan suami-istri, membiasakan dialog dan percakapan, menjaga kesetiaan ikatan perkawinan, saling menolong dalam urusan rumah tangga, membina kesatuan orangtua dengan anak-anak, Orang tua sahabat anak-anaknya, mendidik anak untuk terbuka dan melatih kerja. (Sujoko 2011:164-170)
2.3.4.2 Keluarga Sebagai Persekutuan Doa
Doa keluarga adalah tanda kesatuan yang sangat penting. Dalam berdoa bersama, keluarga mewujudkan dirinya sebagai ecclesia domestica. Doa keluarga memberikan suasana yang baik bagi pertumbuhan rohani bagi para anggotanya. Orang tua yang memperhatikan hal ini telah membuat hal yang paling tepat untuk keluarganya. Pastoral keluarga perlu diarahkan oleh visi yang mendorong keluarga untuk melakukan doa bersama. Banyak hambatan dialami oleh keluarga untuk mewujudkan doa bersama. Penaggungjawab dan inisiatif pertama adalah orang tua. Tetapi pada kenyataannya sering orang tua enggan melakukan hal itu. Pengaruh dari kehidupan modern juga sering menyebabkan doa keluarga menjadi sulit. Pengaruh TV dan pelbagai macam kegiatan yang menjadi bagian dari gaya hidup, tidak memberi tempat bagi kebiasaan keluarga untuk berdoa. Dalam hal mewujudkan doa keluarga, maka sebaiknya ada bantuan dari para pemimpin umat. Katekese keluarga perlu diadakan  untuk memberikan motivasi dengan cara menjelaskan pentingnya menciptakan suasana doa dalam keluarga. Bebera hal penting yang perlu ditegaskan untuk mewujudkan doa keluarga yakni menyediakan perlengkapan doa, doa harian keluarga, dan doa pada kesempatan Khusus. (Sujoko 2011:171-173)


2.3.4.3 Keluarga Sebagai Persekutuan yang Mewartakan
Iman perlu diwartakan. Keluarga sebagai persekutuan iman mengemban tugas untuk mewartakan iman. Keluarga perlu menjadi tempat dimana pewartaan iman itu terjadi. Sema seperti Gereja, demikian pula keluarga bertugas untuk mewartakan injil. Tanda bahwa keluarga adalah Gereja rumah maka harus ada pewartaan injil didalamnya. Pewartaan injil itu pertama-tama harus terjadi di dalam keluarga itu sendiri. Kalau penginjilan sudah terjadi di dalam rumah, maka pewartaan keluarga itu memancar pula kepada tetangga. Seperti Gereja, Keluarga menjadi pewartaan injil untuk orang lain. Bahkan keluarga yang mewartakan itu merupakan wujud Gereja yang mewartakan injil. Melalui keluarga-keluarga kristiani Gereja Kristus mewartakan injil. Tugas kerasulan keluarga itu berakar dalam sakramen babtis dan sakramen perkawinan. Mereka mengemban tugas untuk menyiarkan iman dan mewarnai hidup masyarakat selaras dengan rencana Allah. Untuk dapat mewujudkan tugas pewartaan keluarga, maka sarana pewartaan perlu disediakan seperti menyediakan sarana katekese, mendalami Kitab Suci dalam keluarga dan mengajarkan iman orang tua kepada anak-anak. (Sujoko 2011:174-176)
2.3.4.4 Keluarga Sebagai Persekutuan yang Melayani
Salah satu semangat hidup atau spiritualitas kristiani adalah pelayanan.  Pendidikan untuk melayani sejalan dengan visi kristiani tentang perkembangan. Perkembangan sejati seorang manusia terletak dalam kamampuannya untuk keluar dari dirinya dan bisa melayani orang lain. Keluarga menjadi tempat di mana suami-istri dan anak-anak belajar untuk saling melayani. Secara lebih konkret usaha-usaha ke arah perkembangan itu diusahakan antara lain melalui beberapa tahap yakni membina sikap untuk memperhatikan sesama, membina sikap mandiri dan membina sikap melayani. (Sujoko 2011:177-180)
2.3.4.5 Keluarga Sebagai Persekutuan yang Bersaksi
Iman dalam keluarga sebagai Gereja Rumah yang mewarnai cara hidup para anggotanya bisa menjadi kesaksian iman bagi lingkungan sekitar. Keberadaan keluarga Kristiani di tengah masyarakat hendaknya menjadi tanda hadirnya kebaikan dan kasih yang mendasari semangat Injil. Tugas misioner keluarga berdasar pada permandian dan menerima kekuatan baru dalam sakramen perkawinan. Sakramen itu memberikan iman dan membentuk pengudusan supaya keluarga hidup sesuai dengan rencana Allah. Keluarga perlu mendidik anak-anaknya supaya terbuka untuk menerima panggilan Allah. Keluarga perlu terbuka bagi nilai-nilai transenden dalam kegembiraan pelayanan bagi sesamanya. (Sujoko 2011:180-181)






III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1         Tempat Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi lokus penelitian adalah Stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru, Kecamatan Motoling, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara. Stasi ini memiliki 4 wilayah rohani.
3.2  Teknik Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menggali problematika kehidupan berkeluarga demi tercapainya kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil di Stasi St Markus Raanan Lama.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1. Populasi
Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan keluarga-keluarga Katolik yang berada di Stasi St. Markus Raanan Lama. Dengan Jumlah KK 95 dan 285 jiwa.
3.3.2. Sampel
            Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan non-probability sampling dengan jenis purposive sampling yang akan memilih orang-orang yang berpengalaman berdasarkan ciri-ciri khusus yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui. Sampel penelitian telah dipilih dan ditentukan dengan pertimbangan dan tujuan tertentu, misalnya orang yang dianggap tahu atau berkompeten dengan data apa yang peneliti harapkan.
3.4  Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan oleh peneliti dalam penelitian yang memakai tehnik wawancara adalah data kalimat. Sedangkan yang menjadi sumber data bagi peneliti adalah:
1.      Informan : Pastor paroki, ketua dewan pastoral stasi, ketua wilayah rohani dan bapak/ibu dalam keluarga.
2.      Sumber Tertulis
3.5  Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi.
3.6   Analisis Data
            Dalam penelitian ini, proses analisa data yang akan dibuat oleh peneliti meliputi tiga tahap, yakni:
a.       Reduksi Data (Data Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu perlu analisis data melalui reduksi data. Mereduksi berarti merangkum, memilih hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan.
b.      Penyajian Data (Data Display)
            Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplay data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcard dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, data terorganisasikan atau tersusun dalam pola hubungan sedemikian sehingga akan mudah dipahami.
c.       Penyimpulan/ Verifikasi (Conclusion Drawing/ Verification)
Setelah data direduksi dan dibuat penyajiannya, maka peneliti membuat verifikasi atau penarikan kesimpulan. Kesimpulan ini tidak lain adalah temuan baru yang diperoleh dari data-data penelitian.
3.7  Alat Pengumpulan Data
      Alat yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah sebagai berikut:
1)      Pedoman Wawancara : Wawancara disebut juga interview yaitu proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab yang mendalam sambil bertatap muka dan berkomunikasi langsung berkaitan dengan masalah yang diteliti.
2)      Kamera : Berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pengamatan dalam melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penelitian.
3)      Buku catatan : Berfungsi untuk mencatat hal-hal yang diperlukan untuk melengkapi data-data peneliti.

3.8. Pemeriksaan Keabsahan Data
            Peneliti akan berusaha membuat pemeriksaan keabsahan data. Uji keabsahan data yang akan dibuat peneliti antara lain, sebagai berikut:
3.8.1.  Kredibilitas
            Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data penelitian kualitas antara lain lakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian triangulasi, analisis kasus negatif.
a.       Perpanjangan pengamatan
            Dengan perpanjangan pengamatan dimaksudkan peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru.
b.      Meningkatkan ketekunan
            Peneliti dapat memberikan deskripsi data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. Untuk meningkatkan ketekunan, perlu dibaca berbagai buku referensi maupun hasil penelitian atau dokumentasi yang berkaitan.
c.       Triangulasi
            Triangulasi dimengerti sebagai pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan waktu. Dengan demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik, pengumpuan data dan waktu.



·         Triangulasi sumber
Tiangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data, dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber.
·         Triangulasi teknik
     Triangulasi teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya, data diperoleh dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi.
·         Triangulasi waktu
     Waktu juga mempengaruhi kredibilitas data. Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara berulang-ulang sampai ditemukan kepastian datanya.
2.2.7        Transferability
Hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. Penulis membuat laporan dengan memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya, maka pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut sehingga dapat diterapkan pada tempat yang lain.
2.2.8        Dependability
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengaudit keseluruhan aktivitas penulis dalam melakukan penelitian, dengan auditor pembimbing. Uji dependability ini dilakukan agar penelitian ini benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan.
2.2.9        Konfirmability
Pengujian konfirmability untuk menguji penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Penulis menggunakan cara ini agar hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya sesuai dengan data yang dikumpulkan di lapangan.














DAFTAR PUSTAKA

Dokumen Gereja :
Konsili Vatikan II, 1993, Lumen Gentium (LG), Konstitusi Dogmatis tentang Terang Bangsa-Bangsa, diterjemahkan oleh Hardawriyara R., Jakarta: Obor
KWI, 2006, Kitab Hukum Kanonik, Obor: Jakarta
Yohanes Paulus II., 1994, Familiaris Concortio, Surat kepada keluarga-keluarga, diterjemahkan oleh Yosef, MH.
Sumber Buku :
Bimas Katolik, 1997, Modul: Gereja (Eklesiologi I), IPI: Malang
Eminyan, Maurice, Sj, 2001, Teologi Keluarga, Kanisius: Yogyakarta
Gilarso, T. SJ, 1996, Membangun Keluarga Kristiani, Kanisius: Yogyakarta
Hello, Marianus, Yosef., 2004, Menjadi Keluarga Beriman, Yayasan Pustaka Nusatama: Yogyakarta
KWI, 2011, Pedoman Pastoral Keluarga, Obor: Jakarta
Komkat Keuskupan Manado, 2010, Ecclesiola, Cahaya Pineleng: Jakarta
Raharso, C. Alf. Pr., 2006, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik,: Dioma: Malang
Sujoko, Albertus. MSC., 2011, Teologi Keluarga, Kanisius: Yogyakarta
Suwito, P. Pr., 2003, Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga, Dioma: Malang
 Sumber Internet :
https://id.m.wikipedia.org/wiki/keluarga. Diakses 9 November 2015









LAMPIRAN 1
Pedoman Wawancara

A.    Bagaimana realitas gerejawi (hidup menggereja) dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1)      Bagaimana pemahaman anda tentang keluarga?
2)      Bagaimana pemahaman anda tentang Gereja?
3)      Menurut anda, apa arti keluarga sebagai Gereja Kecil?
4)      Apa tugas dan peran keluarga sebagai Gereja Kecil?
5)      Apa hambatan keluarga dalam mewujudkan keluarga sebagai Gereja kecil ?
6)      Bagaimana pemahaman anda tentang hidup menggereja?
7)      Menurut anda apa tujuan hidup menggereja?
8)      Menurut anda, apakah hidup menggereja itu penting? Mengapa?
9)      Apa faktor-faktor penghambat dalam hidup menggereja?
10)  Apa faktor-faktor pendukung dalam hidup menggereja?
B.     Bagaimana model-model keluarga sebagai Gereja kecil di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1)      Menurut anda, bagaimana model-model keluarga sebagai Gereja Kecil ?
2)      Kebiasaan apa yang dilaksanakan dalam keluarga sebagai model keluarga sebagai Gereja Kecil ?
3)      Berkaitan dengan  pertanyaan di atas, apakah kehidupan keluarga anda sudah bisa dikatakan sebagai Gereja kecil?
4)      Manakah upaya pengembangan keluarga sebagai gereja kecil yang dapat dilaksanakan di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1)      Menurut anda, apa upaya yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keluarga sebagai Gereja kecil ?












LAMPIRAN 2
Jadwal Penelitian
No
Kegiatan
September
Oktober
November
Desember

1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4

1
Observasi Awal
















2
Bimbingan Proposal














3
Penyusunan Proposal













4
Seminar Proposal
















5
Perbaikan Proposal
















6
Penelitian Lapangan















7
Analisis Data















8
Penyusunan Skripsi














9
Bimbingan Skripsi














10
Penyempurnaan Skripsi















11
Ujian Skripsi

















Jadwal ini sewaktu-waktu dapat berubah sesuai situasi dan kondisi.





LAMPIRAN 3
Biaya Penelitian
No
Kegiatan
Biaya
(Rp)
1.
Penyusunan Proposal
200.000
2.
Penggandaan Proposal
200.000
3.
Seminar Proposal
200.000
4.
Perbaikan Proposal
200.000
5.
Observasi Lapangan
150.000
6.
Kegiatan Penelitian
500.000
7.
Penyusunan Skripsi
1.000.000
8.
Bimbingan Skripsi
500.000
9.
Penyempurnaan Skripsi
1.000.000
10
Penggandaan Skripsi
1.000.000
11.
Ujian Skripsi
500.000
12.
Lain-lain
200.000
Jumlah
5.400.000