Add caption |
Wikipedia
Hasil penelusuran
Jumat, 26 Februari 2016
Mewujudkan Keluarga Sebagai Gereja Kecil
RANCANGAN PENELITIAN
MENGEMBANGKAN KELUARGA
SEBAGAI GEREJA KECIL DI STASI ST MARKUS RAANAN
LAMA
PAROKI ST PAULUS
TOMPASO BARU
(Diajukan Untuk Memenuhi Proposal Dalam Rangka Penyusunan Skripsi)
Oleh:
Vincentius. R. Toreh
NIM: 11-0364
NIRM: 11.16421.0358.R
SEKOLAH TINGGI
PASTORAL (STIPAS) ”DON
BOSCO”
JURUSAN
KATEKETIK PASTORAL
TOMOHON
2015
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam kehidupan
bermasyarakat, keluarga merupakan unit terkecil yang terdiri dari kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul didalamnya dan tinggal bersama disuatu tempat
di bawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan. Keluarga berperan
penting dalam kehidupan bermasyarakat karena peran keluarga menunjukan suatu
organisasi kecil yang dapat hidup dalam kebersamaan. Peran-peran yang terdapat
dalam suatu keluarga yakni ayah sebagai suami yang berperan sebagai kepala
rumah tanggal, pendidik dan pencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ibu
sebagai istri dari suami dengan peran sebagai pengurus rumah tangga, sebagai
pengasuh dan pendidik anak-anaknya. Di samping itu juga ibu dapat berperan
sebagai pencari nafkah tambahan dalam keluarga. Anak-anak sebagai tanggung
jawab utama dalam keluarga dan dididik oleh orang tuanya.
Dalam kehidupan
menggereja, keluarga merupakan kelompok terkecil dari gereja. Didalamnya
terdapat suatu persekutuan yang erat antara semua anggota keluarga. Setiap
anggota keluarga dapat menjalankan fungsi dan perannya masing-masing yakni baik
sebagai orang tua maupun sebagai anak. Keluarga juga dapat disebut sebagai gereja
kecil karena didalamnya kita dapat mengenal iman dan merasakan sebuah
persekutuan cinta yang terus terjalin. Dengan demikian salah satu fungsi
keluarga yakni menghadirkan Kristus dalam keluarga itu sendiri maupun bagi
masyarakat umum.
Sebagai gereja kecil,
keluarga harus memberikan bekal iman yang mendalam bagi setiap anggotanya
khususnya terhadap anak-anak. Bekal iman yang dimaksud yakni mengenal gereja
dan menghayati nilai-nilai kristiani yang menjadi dasar untuk membangun gereja.
Bekal iman tersebut bisa diberikan lewat pendidikan iman oleh keluarga itu
sendiri. Pendidikan iman yang dimaksud yakni berusaha memberikan semua hal yang
dibutuhkan anak-anak untuk dapat bertumbuh dewasa secara kristiani. Hal ini
merupakan panggilan bagi keluarga-keluarga kristen, jika mereka dapat menyadari
dan mengamalkan akan panggilan tersebut, maka keluarga menjadi suatu
persekutuan yang menguduskan, dimana orang belajar menghayati kelemahlembutan,
keadilan, belaskasihan, kasih sayang, kemurnian, kedamaian, dan ketulusan hati.
(bdk Ef 1:1-4)
Keluarga memiliki
nilai-nilai yang penting dalam menanamkan nilai-nilai kristiani, karena
nilai-nilai kristiani tersebut bermula dari dalam keluarga itu sendiri. Kita
dapat melihat tingkah laku seseorang sebagai orang kristiani karena dilandasi
oleh pendidikan yang baik dari dalam keluarganya sendiri. Peran keluarga
sangatlah penting sebab maju mundurnya kehidupan menggereja ditentukan oleh
sejauh mana setiap pribadi dididik dalam keluarganya.
Dizaman modern ini,
dimana perkembangan dan kemajuan teknologi sangat mempengaruhi perilaku setiap
pribadi dalam keluarga. Salah satu tantangan serius yang dihadapi dan dialami
oleh keluarga-keluarga zaman ini adalah situasi dan kondisi lingkungan yang
diwarnai oleh sarana komunikasi modern. Keluarga-keluarga harus melaksanakan
perutusannya dengan memberikan pendidikan nilai kemanusiaan dan iman kepada anggota
keluarganya yang mau tidak mau pribadinya sudah dipengaruhi dan bahkan dibentuk
oleh sarana komunikasi itu yang sering kali menyampaikan program acara yang
bertentangan atau menyimpang dari nilai-nilai yang ingin kita hayati dalam
keluarga. Setiap keluarga hendaknya menggunakan sarana komunikasi tersebut
secara positif, artinya keluarga-keluarga harus memanfaatkan media komunikasi
tersebut untuk mewartakan dan mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan dan iman
kepada semua anggota keluarga.
Stasi St Markus Raanan
Lama adalah salah satu stasi yang ada di paroki St Paulus Tompaso Baru.
Keluarga yang disebut sebagai gereja kecil, berarti di dalam kehidupan keluarga
itu terdapat nilai-nilai kristiani yang terus tumbuh dan dikembangkan oleh
keluarga itu sendiri. Namun pada kenyataannya nilai-nilai kristiani yang seharusnya
bertumbuh dalam kehidupan berkeluarga tidak nampak dalam keluarga-keluarga yang
ada di stasi ini. Hal ini dapat dilihat dari kehidupan keluarga stiap harinya.
Misalnya ada beberapa umat yang pada hari minggu tidak mengikuti misa/ibadat
melainkan hanya pergi ke kebun, tidak ikut ambil bagian dalam ibadat-ibadat
wilayah rohani atau kelompok-kelompok kategorial, mereka yang dengan mudah
mengeluarkan kata-kata kotor, ibu-ibu keluarga yang lebih suka duduk bersama
dengan ibu-ibu yang lainnya untuk membicarakan hal-hal yang buruk terhadap
orang lain dan bapak-bapak keluarga yang lebih suka duduk di warung sambil
minum minuman keras dari pada mengurus keluarganya, tidak mau bermusyawarah
dengan sesama umat yang yang pada akhirnya menimbulkan perselisihan antar
sesama keluarga katolik. Tentunya hal ini berdampak buruk bagi perkembangan
Gereja saat ini, di mana nilai-nilai kristiani yang selalu diajarkan lewat
peribadatan, misa dan kegiatan kerohanian lainnya, tidak berpengaruh terhadap
perkembangan iman bagi keluarga-keluarga di stasi ini.
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, maka penulis ingin melakukan penelitian
tentang “MENGEMBANGKAN KELUARGA SEBAGAI
GEREJA KECIL DI STASI ST MARKUS RAANAN LAMA, PAROKI ST PAULUS TOMPASO BARU”
1.2 Fokus Dan
Rumusan Masalah
Pada
penelitian ini, yang menjadi
fokus penelitian sekaligus pembahasan peneliti adalah penerapan keluarga sebagai Gereja Kecil, pada keluarga-keluarga Katolik di Stasi St Markus Raanan Lama, Paroki St Paulus Tompaso Baru. Dengan rumusan masalah sebagai berikut;
1) Bagaimana
realitas gerejawi dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja
kecil di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
2) Bagaimana model-model keluarga sebagai Gereja kecil di
stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
3) Manakah upaya pengembangan keluarga sebagai gereja kecil
yang dapat dilaksanakan di stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus
Tompaso Baru?
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian
ini bertujuan untuk :
1. Mendeskripsikan realitas gerejawi dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja
kecil.
2. Mendeskripsikan model-model kehidupan
keluarga sebagai Gereja kecil.
3. Mendeskripsikan upaya pengembangan keluarga sebagai gereja kecil
1.4.
Manfaat
penelitian
Adapun beberapa manfaat yang dapat diperoleh lewat penelitian
ini, yakni sebagai berikut:
2. Bagi
Peneliti
Membantu peneliti agar
semakin memahami dan menghayati akan hidup keluarga sebagai Gereja kecil yang
sesungguhnya dan mengembangakan hidup perasekutuan dan pelayanan di
tengah-tengah umat.
3.
Bagi Kelompok Sasaran
Penelitian
ini diharapkan agar kelompok sasaran semakin memahami dan
menghayati akan kehidupan keluarga sebagai
Gereja kecil yang sesungguhnya serta berusaha
mengembangkan hidup persekutuan dan pelayanan bagi sesama umat.
4. Bagi
Lembaga STIPAS Don Bosco Tomohon
Penelitian ini
diharapkan akan memberikan manfaat bagi lembaga STIPAS Don Bosco Tomohon dalam
bentuk informasi tentang hidup keluarga
sebagai Gereja kecil yang sesungguhnya dan menjadi satu pegangan untuk
melaksanaan tugas dan tanggung-jawab sebagai anggota Gereja.
II
LANDASAN TEORI
2.1 Pemahaman Tentang Gereja
2.1.1 Arti Gereja dalam
Perjanjian Lama
(TIM
IPI Malang 1993:10-11). Kata ‘Gereja’ berasal dari kata Portugis ‘Igreja’.
Dalam perpindahan bahasa, huruf ‘I’ dihilangkan. Kata tersebut mempunyai kaitan
dengan kata Spanyol ‘Igresia’, Prancis ‘Eglise’, Latin ‘Ecclesia’ dan Yunani
‘Ekklesia’. Semua kata tersebut mempunyai arti yang sama dalam bahasa Indonesia
disebut Gereja. Kata Ekklesia pertama-tama mempunyai arti yang bersifat profan:
Sidang, perkumpulan, perhimpunan, dan peguyuban pada umumnya. Dalam terjemahan
Alkitab yang berbahasa Yunani, kata Ekklesia diterjemahkan dari kata ibrani
‘qahal’.
Dari
sudut militer, qahal berarti kumpulan orang untuk memanggul senjata dan maju berperang.
Dari sudut politik, qahal berarti himpunan para pemimpin Israel yang
dikumpulkan oleh raja untuk mengambil keputusan. Dari sudut sosio
religius, qahal berarti bangsa yang
dihimpun oleh Yahwe, yang dipanduhkan oleh aturan-aturan dari Yahwe dan yang
mengambil bagian dalam perjanjian dengan-Nya. Dengan kata lain, umat yang
menjawab panggilan Yahwe.
2.1.2 Arti Gereja
dalam Perjanjian baru
(TIM IPI Malang 1993:11-12). Dalam
perjanjian baru terdapat kata yang kini diterjemahkan Gereja yaitu Synagoge Ekklesia
yang masing-masing dari bahasa Ibrani dan Yunani. Synagoge berarti pertemuan
dan kelompok/himpunan para pengikut Yesus (Yak 2:2). Dalam Injil Synagoge
berarti tempat pertemuan jemaat Yahudi atau jemaat Yahudi itu sendiri mewakili
seluruh bangsa Yahudi. Dalam Wahyu 2:9, 3:9, Synagoge berarti Jemaah Yahudi.
Sedangkan Ekklesia (Mat 16:8, 19:18) berarti jemaat Kristus, juga ditemukan
dalam 1 Korintus.
Arti gereja dari beberapa pengarang dalam perjanjian
baru.
1)
Dalam surat Paulus
Gereja dipakai untuk menyatakan:
-
Pemenuhan panggilan Allah bertolak dari pewartaan Yesus Kristus
-
Orang-orang yang terpilih dalam Allah
-
Jemaat dalam Kristus atau dari Kristus
-
Tubuh atau bangunan yang merupakan pernyataanKerajaan Kristus dan Kristus
kepalanya.
2)
Dalam Injil Matius
Mat 18:17, Gereja diartikan
sebagai sejumlah orang yang hidup dan bertemu di suatu tempat serta memandang
diri mereka sebagai Israel Sejati karena disatukan oleh Yesus sang Mesias.
Dalam pengertian yang Eschatologis Gereja dinyatakan oleh Matius sebagai perhimpunan
Umat Allah yang benar.
3)
Dalam Injil Lukas
Lukas mengungkapkan kata
Ekklesia (= Gereja) terutama dalam Kisah Para Rasul. Menurut Lukas Gereja
berarti Jemaat Pengikut Kristus yang terwujud dalam setiap tempat, namun tetap
satu.
4)
Yakobus menggunakan kata Ekklesia dalam arti teknis yaitu sebagai suatu
perkumpulan lokal yang diorganisasikan secara jelas dengan pola synagoga
Yahudi. (Yak 5:14)
5)
Dalam Surat kepada jemaat di Ibrani
Ibr 2:12. Gereja berarti
perayaan kultis/peribadatan. 12:23. Gereja menunjukan Jemaat Allah yang bersatu
dengan Bapa di Surga dalam kesempurnaan (lebih pada warna eschatologis).
2.1.3 Gereja
Menurut Pengajaran Gereja
Refleksi baru tentang Gereja ditemukan
dalam Konsili Vatikan II terutama yang tertuang dalam Konstitusi Dogmatis tentang
Gereja yang dikenal dengan Lumen Gentium. (TIM IPI Malang 1993:16)
2.1.3.1 Gereja
Sebagai Misteri
(TIM IPI Malang 1993:17). Misteri
berarti rahasia namun dari masing-masing bahasa dan terjemahan seperti dalam
Kitab Suci, memiliki penekanan yang berbeda. Ibrani menekankan suatu rahasia
antara sahabat karib. Aram menekankan suatu rahasia karena menyangkut rencana
keselamatan Tuhan khususnya mengenai masa depan.
Pada dasarnya antara Misteri dan
sakramen mempunyai arti yang sama, tetapi Misteri merupakan bagian dalam
sakramen. Gereja (dalam LG) disebut sakramen karena mengungkapkan rahasia
keselamatan Allah kepada kita umat manusia secara universal dan dan merupakan
tanda dan sarana kesatuan mesra antara umat manusia dengan Allah dan persatuan
seluruh umat manusia. Kesatuan yang menyelamatkan.
2.1.3.2 Gereja
Sebagai Sakramen Keselamatan
(TIM
IPI Malang 1993:17-18). Gereja tampil sebagai sakramen keselamatan bagi umat
manusia karena dipenuhi dengan hidup Yesus Kristus oleh Roh kudus. Yang
dimaksud dengan sakramen keselamatan adalah:
-
Kesatuan umat manusia dengan Allah dan persatuan umat manusia.
-
Dalam rangka sejarah keselamatan Allah, keselamatan berarti Allah memanggil
mereka yang penuh kepercayaan mengarahkan pandangannya kepada Yesus pencipta
keselamatan dan dasar persatuan serta kedamaian, dan membentuk mereka menjadi
Gereja, supaya bagi semua dan tiap orang menjadi sakramen yang kelihatan dari
kesatuan yang menyelamatkan itu.
Gereja adalah himpunan orang yang
percaya kepada Kristus sebagai pencipta keselamatan. Dengan kata lain Gereja
merupakan pengejawantahan Karya Keselamatan Tuhan. Gereja disebut sakramen
keselamatan adalah karena imannya akan Yesus Kristus. Gereja tidak dapat
memperoleh keselamatan dari dirinya sendiri. Inti proses penyelamatan itu adalah
pada Kristus.
2.1.3.3 Gereja
Sebagai Komunikasi dan Kesatuan Umat yang beriman kepada Kristus
(TIM IPI Malang 1993:18). Arti atau
paham baru ini bertolak dari iman dan wahyu yang merupakan hal yang sangat
dominan sampai terbentuknya Gereja.
1)
Arti Iman
Iman adalah penyerahan diri
secara utuh kepada Allah. Untuk dapat beriman makan rahmat mutlak diperlukan
karena rahmat Allahlah yang mendahului serta menolong dan dengan bantuan Roh
Kudus yang menggerakkan hati dan membalikan manusia kepada Allah.
2)
Arti Wahyu
Wahyu adalah pemberian Diri
Allah dan pemberian wahyu itu dijawab manusia dengan iman. Wahyu Tuhan
merupakan panggilan pribadi yang ditunjukan kepada manusia secara pribadi pula.
Panggilan baru menjadi Wahyu dalam arti yang sebenarnya/penuh kalau ditanggapi
secara pribadi oleh manusia.
Antara
Iman dan Wahyu dapat dimengerti sebagai hubungan timbal balik antara Allah dan
manusia. Hubungan baik itu disebut Wahyu kalau dilihat dari pihak Allah, dan
dinamakan Iman kalau dilihat dari pihak manusia.
Wahyu
Allah terpenuhi dalam Diri Kristus. Iman berarti penyerahan total kepada Allah
melalui Kristus, dengan demikian hubungan manusia dengan Allah hanya dapat
terjadi melalui Yesus Kristus. Dengan mengimani Yesus orang wajib meneladani
Kristus dan mencontoh sikap dasar dari hidup-Nya yang telah Dia nyatakan kepada
Bapa dan terhadap sesama.
2.1.3.4 Gereja
Sebagai Tubuh Kristus
(TIM IPI Malang 1993:19). Konsili
Vatikan II dalam Lumen Gentium mengajarkan bahwa Gereja adalah Tubuh Kristus.
Tubuh Kristus berarti: Kesatuan antara warga Gereja dengan Kristus yang
dijembatani oleh Roh Kudus. Kendati ada kesatuan namun antara Kristus dan
Gereja ibarat mempelai di mana ada perbedaan dari kepribadian masing-masing
dalah kekhususan dan perbedaan terlaksana kesatuan cinta kasih di mana Kristus
memberikan kekayaan-Nya kepada Gereja, dan Gereja menanggapinya dengan iman.
2.1.3.5 Gereja
Sebagai Umat Allah
(TIM
IPI Malang 1993:19). Paham ini berarti Gereja dipanggil dan dipersatukan oleh
Allah. Istilah umat Allah berlatar belakang pada sejarah keselamatan yang
terbentang mulai dari panggilan Abraham dalam Perjanjian Lama sampai Perjanjian
Baru. Jadi Gereja dipandang dalam rangka sejarah keselamatan. Dalam
kenyataannya Gereja hidup dalam dunia profan dan sekular dan sedang dalam perjuangan
(Gereja musafir) yang digerakan oleh Roh Kudus dalam satu Roh untuk menemukan
jalan kepada Bapa. Dengan demikian pahan Gereja sebagau umat Allah juga
bersifat eskatologis.
Karena
kehiduan Gereja digerakan oleh Kristus maka sebagai umat Allah yang keberadaannya
dalam kesatuan dengan Kristus adalah terutama kesatuan iman. Dalam kesatuan
dengan Kristus ini semua orang mempunyai kesamaan dalam martabatnya.
2.2 Pemahaman Tentang Keluarga
2.2.1 Pengertian Keluarga
Secara Etimologis
Secara etimologis keluarga berasal dari bahasa Sansekerta:
“Kulawarga”;”ras” dan “warga” yang berarti “anggota”. Maka keluarga dapat dikatakan sebagai
lingkungan yang terdapat beberapa orang yang masih memiliki hubungan darah atau
dengan kata lain keluarga sebagai kelompok sosial yang terdiri dari sejumlah
individu, memiliki hubungan antar individu, terdapat ikatan, kewajiban,
tanggung jawab di antara individu tersebut. (Wikipedia.com)
2.2.2 Pengertian Keluarga
Menurut Para Ahli
Fitzpatrick (2004), memberikan pengertian keluarga dengan cara meninjaunya
berdasarkan tiga sudut pandang berbeda, yakni: (http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/)
1.
Pengertian keluarga secara Struktural: Keluarga didefinisikan berdasarkan
kehadiran atau ketidakhadiran anggota dari keluarga, seperti orang tua, anak
dan kerabat lainnya. Definisi ini memfokuskan pada siapa saja yang menjadi
bagian dari sebuah keluarga. Dari perspektif ini didapatkan pengertian tentang
keluarga sebagai asal-usul (families of
origin), keluarga sebagai wahana melahirkan keturunan (families of procreation), dan keluarga batih (extended family).
2.
Pengertian keluarga secara fungsional: Definisi ini memfokuskan pada
tugas-tugas yang dilakukan oleh keluarga. Keluarga didefinisikan dengan
penekanan pada terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi-fungsi psikososial.
Fungsi-fungsi tersebut mencakup fungsi perawatan, sosialisasi pada anak,
dukungan emosi dan materi, juga pemenuhan peran-peran tertentu.
3.
Pengertian keluarga secara transaksional: Definisi ini memfokuskan pada
bagaimana keluarga melaksanakan fungsinya. Keluarga didefinisikan sebagai
kelompok yang mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang
memunculkan rasa identitas sebagai keluarga (family
identity), berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun cita-cita masa
depan.
Pengertian lainnya tentang definisi keluarga menurut
para ahli tentang keluarga:
1.
Duvall dan Logan (1986) : Keluarga adalah sekumpulan orang dengan ikatan
perkawinan, kelahiran, dan adopsi yang bertujuan untuk menciptakan,
mempertahankan budaya, dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional,
serta sosial dari tiap anggota keluarga.
2.
Balion dan Meglaya (1978) : Keluarga adalah dua atau lebih individu yang
hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan, atau
adopsi. Mereka saling berinteraksi satu dengan yang lain, mempunyai peran
masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya.
3.
Narwoko dan Suyanto, (2004) : Keluarga adalah lembaga sosial dasar dari
mana semua lembaga atau pranata sosial lainnya berkembang. Di masyarakat
manapun di dunia, keluarga merupakan kebutuhan manusia yang universal dan
menjadi pusat terpenting dari kegiatan dalam kehidupan individu.
Dapat disimpulkan bahwa karakteristik keluarga
adalah :
·
Terdiri dari dua atau lebih individu yang diikat oleh hubungan darah,
perkawinan atau adopsi.
·
Anggota keluarga berinteraksi satu sama lain dan masing-masing mempunyai
peran sosial: Suami, istri, anak, kakak dan adik.
·
Anggota keluarga biasanya hidup bersama atau jika terpisah mereka tetap
memperhatikan satu sama lain.
·
Mempunyai tujuan menciptakan dan mempertahankan budaya, meningkatkan
perkembangan fisik, psikologis dan sosial anggota.
Keluarga juga dapat dibedakan menjadi
dua, yaitu keluarga inti (conjunal
family) dan keluarga kerabat (consanguine
family). Conjunal family atau keluarga inti (batih) didasarkan atas ikatan
perkawinan dan terdiri dari suami, istri, dan anak-anak mereka yang belum
kawin. Sedangkan consanguine family tidak
didasarkan pada pertalian suami istri, melainkan pada pertalian darah atau
ikatan keturunan dari sejumlah orang kerabat. Keluarga kerabat terdiri dari
hubungan darah dari beberapa generasi yang mungkin berdiam dalam satu rumah
atau pada tempat lain yang berjauhan.
2.2.3 Keluarga Menurut Pandangan Kitab Suci
Kejadian 1
: 26 – 28 “ Berfirmanlah Allah: baiklah
kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa Kita, supaya mereka berkuasa
atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas ternak dan atas seluruh bumi
dan atas segala binatang melata yang merayap di bumi.”Maka Allah menciptaka
dian manusia itu menurut gambar-Nya, menurutgambar Allah diciptakan-Nya dia
lsaki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka”.
Allah
menciptakan laki-laki dan perempuan menurut citra Allah. Laki-laki dan
perempuan diberkati oleh Allah. Pemberkatan Allah ini semakin diperkuat setelah
Allah mempersatukan pria dan wanita hidup bersama di taman Eden. Pemberkatan
pria dan wanita dapat diartikan sebagai pemberkatan nikah karena pria dan
wanita telah diberkati dan diberi tugas untuk beranak cucu dan untuk menguasai
bumi.
2.2.4 Keluarga Menurut Pandangan
Gereja Katolik
Keluarga pada hakikatnya bersifat
gerejawi; ungkapan ini dapat digunakan bila berkenan dengan realitas yang,
disamping kodrati, juga esensinya bersifat adikodrati. Sebagai sel vital
Gereja, keluarga merupakan bagian dari Gereja. Dengan demikian, keluarga
kristiani bersama-sama membangun Gereja, di situ ada beberapa kebenaran dengan
mengatakan bahwa Gereja berasal dari keluarga. Sebaliknya, orang dapat juga
mengatakan bahwa keluarga merupakan perluasan Gereja, perpanjangan tangan
Gereja. (Eminyan 2001 : 219)
Menurut
surat apostolik “Familiaris Consortio”
dengan cita-cita konsili, berisi tentang pengertian keluarga yaitu:
1.
Keluarga
adalah ikatan antara orang-orang yang berusaha supaya cinta makin hari makin
menghangatkan mereka.
2.
Keluarga
berdasarkan perkawinan pria dan wanita sama derajadnya dan anak-anak adalah
hadiah yang paling berharga.
3.
Keluarga
merupakan sekolah kebajikan manusiawi tempat semua anggota keluarga belajar,
saling memperhatikan dan melayani.
4.
Dalam
keluarga perselisihan serta perbedaan unsur
lebih muda diatasi, karena adanya suasana saling mengerti dan kerukunan
yang terbina.
5.
Keluarga
adalah sel kehidupan masyarakat dimana merupakan tempat orang mengetahui dan mempelajari secara praktis
nilai-nilai keadilan, hormat dan cinta kasih.
6.
Keluarga
adalah Gereja domestik atau Gereja rumah tangga tempat kehidupan iman, harap
dan kasih kristiani yang berkembang dalam diri generasi muda.
2.2.5 Keluarga Menurut Bapa-Bapa
Gereja
Para bapa Gereja pada abad-abad pertama
menjelaskan makna perkawinan kristiani kepada umat dalam konteks dunia kafir
yang menjadi lingkungan hidup mereka. Dari satu pihak orang-orang kristiani
menjalani hidup perkawinan sama seperti orang-orang kafir. Dari pihak lain
mereka sadar bahwa sebagai seseorang yang sudah dibabptis mereka menghayati
hidup perkawinan secara berbeda. (Sujoko 2011 : 158)
Hidup
Berkeluarga Sebagai Tugas Pelayanan Gereja
Sujoko (2011:160-163). Hidup berkeluarga
adalah juga suatu pelayanan yang bercoral ekklesial. Para bapa Gereja
menekankan kesamaan panggilan dan tugas pelayanan hidup perkawinan dengan
bentuk hidup lainnya dalam Gereja. Beberapa ajaran pratistik tentang hal ini diambil
dari tokoh-tokoh representatif seperti S. Yohanes Krisostomus (dari Timur) dan
S. Agustinus (dari Barat).
Dua kutipan berikut ini memberikan
penjelasan apa yang dimaksud oleh Krisostomus dengan hidup berkeluarga sebagai
jalan kekudusan. Kutipan pertama dibuat oleh Rentinck dalam buku “Karya
Pastoral di Antiokia pada abad ke-IV.” Krisostomus mengatakan:
“Rumah adalah sebuah Gereja kecil. Bapa keluarga
mengganti uskup untuk untuk menggembalakan seisi rumahnya. Seperti uskup, bapa
keluarga bertugas untuk mengajar seisi rumahnya. Setelah pulang dari Gereja
para bapa keluarga harus menjelaskan isi khotbah yang ia dengan di Gereja
kepada istri dan anak-anaknya. Rumah harus benar-benar menjadi sebuah Gereja di
mana rahmat Roh Kudus dicurahkan dan damai meraja di sana.”
Kutipan kedua diambil dari komentar
Krisostomus tentang Kitab Kejadian. Konteksnya adalah himbauan Uskup
Konstantinopel kepada umat yang hadir dalam misa di Gereja sebagai berikut:
“Bila kalian sampai di rumah, siapkanlah dua meja:
satu untuk makanan jasmani, yang lainnya untuk santapan Sabda Suci. Suami
mengulang apa yang dikhotbahkan dalam perayaan suci. Para istri hendaknya
belajar dari apa yang dikatakan oleh suami itu dan anak-anak hendaknya mendengarkan.
Tiap orang dari kalian perlu membuat rumah kalian sebagai Gereja. Hai
bapa-bapa, bukankah kalian bertanggungjawab atas keselamatan anak-anakmu?
Kalian sangka tidak perlu mempertanggungjawabkan hal itu suatu hari kelak? Sama
seperti kami para gembala memperhatikan keselamatan jiwa kalian, demikian pula
para bapa keluarga bertanggungjawab kepada Allah atas keselamatan seisi
rumahnya.”
St.
Agustinus mengatakan:
“Bila kalian mendengar Tuhan Yesus berkata, dimana
saya berada, distu hambaku berada, jangan hanya berfikir tentang para iman dan
uskup. Kalian juga atas salah satu cara dapat mngabdi Kristus: hidup dengan
baik, memberi derma, memperkenalkan nama-Nya dan ajaran-Nya. Demikianlah setiap
bapa keluarga harus merasakan kewajiban itu. Ia harus mengasihi seisi rumahnya
dengan kasih kebapaan. Demi cinta akan Kristus dan akan kehidupan kekal,
didiklah anak-anakmu, nasehatilah mereka dengan kasih dan kewibawaan. Dengan
cara itu kalian berfungsi sebagai imam bahkan sebagai uskup, yakni melayani
Kristus supaya tinggal bersama Dia dimana Dia berada. Banyak orang seperti
kalian telah mencapai kesempurnaan cinta dengan mengorbankan hidup. Banyak
orang yang bukan uskup atau klerus, melainkan orang yang berkeluarga, para
perawan, orang tua dan anak-anak, para bapa-ibu telah melayani Kristus sampai
menumpahkan darah. Dan Allah Bapa menghormati siapa saja yang melayani Kristus.
Dari kutipan tersebut maka nampaklah
bahwa percakapan para bapa Gereja tentang keluarga ditempatkan dalam konteks
pembinaan umat. Yohanes Krisostomus dan Agustinus berbicara kepada para bapa
keluarga dalam rangka membangun iman umat.
2.2.6. Perkawinan sebagai pilar utama keluarga
katolik
Perkawinan merupakan suatu persekutuan
hidup yang dapat menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam kesatuan
lahir batin yang mencakup seluruh hidup. Dalam ajaran gereja juga mengajarkan
bahwa perkawinan adalah persekutuan seluruh hidup dan kasih mesra antara suami
istri, yang diadakan oleh Sang Pencipta dan dikukuhkan dengan hukum-hukum-Nya,
dibangun oleh perjanjian perkawinan yang tak dapat ditarik kembali. (GS 48).
Jadi perkawinan yang adalah ikatan suci
demi kesejahteraan suami-istri dan kelahiran anak serta pendidikannya itu tidak
hanya tergantug pada kemauan manusiawi semata-mata tetapi juga terhadap
kehendak Allah. kekhasan perkawinan katolik yang berbeda dengan perkawinan pada
umumnya adalah bahwa perkawinan katolik diteguhkan dengan tata peneguhan
kanonik. Oleh karena itu, suami-istri seharusnya dapat menyadari bahwa
perkawinan yang mereka lakukan itu bukan hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan
psikologis dan biologis masing-masing, tetapi perkawinan katolim itu mengandung
sebuah tugas perutusan, yakni menghadirkan cinta kasih Allah dalam hidup dan
tindakan yang konkret. (KWI 2011 : 8)
2.2.6.1 Sifat
Perkawinan Katolik
Sifat-sifat hakiki perkawinan Katolik
adalah Monogam (memiliki satu
pasangan) dan Indissolibilitas (tak
terputuskan). Persatuan yang mesra dalam suatu ikatan perkawinan merupakan
tindakan saling menyerahkan diri antara dua pribadi dan menuntut kesetiaan
suami-istri sepenuhnya demi kesejahtraan anak. Persatuan Laki-laki dan
perempuan yang diikat dalam cinta kasih perkawinan itu merupakan tanda dan
sarana cinta kasih Allah yang menyelamatkan. (KWI 2011 : 8)
Konon 1056 menetapkan :
Sifat-Sifat Hakiki perkawinan ialah monogam dan tak ter-putuskan, yang dalam
perkawinan kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.
Dari kedua Sifat tersebut sebenarnya
tidak bisa disebut begitu saja sebagai unsur konstitutif perkawinan, seperti
kesepakatan nikah. Meskipun demikian, kedua kekhasan itu tetap disebut
esensial, karena terletak dan terkandung dalam setiap perkawinan sebagai realitas
natural. Kedua sifat itu merupakan data hukum ilahi kodrati, yang sudah
tertanam dalam kodrat menusia sebagai tatanan fundamental bagi kebaikan umat
manusia. Karena itu, sebenarnya tidak ada perbedaan sama sekali antara
perkawinan sakramental antara dua orang yang dibabtis dan perkawinan natural
antara orang-orang yang tidak dibabtis. Artinya keduanya bersifat monogam dan
tak terputuskan, karena kedua sifat ini dimiliki oleh setiap perkawinan. Namun
bagi orang-orang kristiani kedua sifat hakiki yang sudah terkandung dalam
perkawinan itu dikukuhkan secara khusus atas dasar sakramen. Hal ini berarti
kedua sifat tersebut menjadi semakin kuat eksistensi dan tuntutannya dalam
perkawinan kristiani. Suami-istri kristiani mendapat bantuan rahmat adikodrati
khusus dari Kristus untuk menghayati perkawinan yang monogam da tak terputuskan
itu, sehingga mereka dapat menjadikannya tanda kehadiran cinta kasih yang
monogam dan tak terputuskan antara Allah dan Gereja yang dicintai-Nya. (Raharso
2006 : 83)
2.2.6.2 Hakekat
Perkawinan Katolik
Hakikat perkawinan menurut Gilarso (1996:9-11) dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
Perkawinan
merupakan persekutuan hidup dan cinta.
Perkawinan merupakan suatu
dasar persekutuan hidup yang menyatukan seorang pria dan seorang wanita dalam
kesatuan lahir batin yang mencakup seluruh hidup yang didasarkan atas cinta
kasih yang tulua. unsur pokok dalam cinta perkawinan adalah kesetiaan kepada
pasangannya “dalam untung dan malang” dan bertanggung jawab dalam segala
situasi.
2.
Perkawinan merupakan lembaga sosial.
dalam masyarakat, perkawinan
dipandang sebagai satu-satunya lembaga yang menghalalkan persekutuan pria dan
wanita, hubungan seksual dan mendapatkan keturunan. oleh sebab itu, perkawinan
dilindungi dan diatur oleh hukum adat dan hukum negara.
3.
Perkawinan merupakan lembaga hukum negara.
Perkawinan adalah ikatan resmi
dan sah. Perkawinan bukanlah suatu ikatan bebas, bukan soal saling mencintai,
melainkan soal masyarakat dan hhubungan sosial. maka perkawinan diatur dalam perundang-undangan pemerintah yaitu UU
Perkawinan no. 2 Tahun 1974.
4.
Perkawinan merupakan Sakramen.
Perkawinan merupakan sakramen
karena persekutuan antara dua orang yang dibaptis yang merupakan perayaan iman
Gerejawi, yang membuahkan rahmat bagi kedua mempelai. Rahmat yang diterima
adalah rahmat yang menguduskan mereka berdua: rahmat yang menyempurnakan cinta
dan persatuan antara mereka : rahmat yang membantu mereka dalam hidup
berkeluarga.
2.2.6.3 Tujuan
Perkawinan Katolik
Perkawinan dapat dilaksanakan dengan
tujuan yang berbeda-beda. Tujuan yang harus dilaksanakan oleh pasangan
suami-istri yang sudah menikah yakni :
Ø
Perekembangan dan pemurnian cinta kasih suami-istri
Dalam
suatu perkawinan, suami dan istri saling menyerahkan diri dan saling menerima
untuk membentuk perkawinan. Saling menyerahkan diri dan saling menerima antara
suami istri merupakan sumber dan dasar untuk memahami secara tepat arti
kesejahteraan suami-istri. Kesejahteraan suami dan istri adalah cinta-kasih
suami dan istri itu sendiri.
Kanon 1061 menetapkan :
“Perkawinan sah antara orang-orang yang dibaptis
disebut hanya ratum, bila tidak consummatum; ratum dan consummatum bila
suami-istri telah melakukan persetubuhan antar mereka (actus coniugalis) secara manusiawi yang pada sendirinya terbuka
pada kelahiran anak, untuk itulah perkawinan menurut kodratnya terarahkan dan
dengannya suami-istri menjadi satu daging”.
Kasih
yang telah bersemi antara pria dan wanita masih harus terus dikembangkan dan
dimurnikan, sehingga sungguh saling membahagiakan. Cinta bukan semata-mata
dorongan nafsu, rasa tertarik dan rasa simpati, melainkan suatu keputusan
pribadi untuk bersatu dan rela menyerahkan diri demi kebahagiaan pasangannya. (Gilarso 1996:9-11)
Ø
Kelahiran dan pendidikan anak.
Setiap perkawinan dan cinta
kasih suami-istri menurut kodratnya terarah kepada kelahiran (procreatio) dan pendidikan anak (educatio). Setiap perkawinan dan
keluarga memiliki tujuan kodrati untuk menciptakan keturunan dan meneruskan
generasi (transmission of life). Dalam
hal ini suami-istri menjadi pelayan dan rekan kerja Allah dalam karya
penciptaan manusia-manusia baru. bahkan biasanya dikatakan bahwa perkawinan dan
keluarga adalah satu-satunya institusi natural yang bertujuan untuk melahirkan
dan mendidik anak, untuk melawan pandangan yang mengatakan bahwa anak bisa
diadakan melalui cara lain yang bukan perkawinan atau keluarga. (Raharso
2006:54-55)
Dalam ensikliknya berjudul
Humanae Vitae (1968), Paus Paulus VI mengajarkan :
“Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan secara bijaksana oleh Allah
Pencipta untuk mewujudkan rencana kasih-Nya bagi umat manusia. Melalui
penyerahan diri timbal balik yang khas, personal dan eksklusif, suami-istri
membentuk persekutuan hidup untuk saling membantu mencapai kesempurnaan
pribadi, serta untuk bekerja sama dengan Allah dalam menciptakan generasi baru
dan mendidiknya”.
Paus Yohanes Paulus II juga mengajarkan
:
“Dalam realitasnya yang terdalan, cinta-kasih pada
hakikatnya adalah pemberian diri. Cinta-kasih suami-istri, yang mengantar
mereka untuk saling mengenal hingga menjadikan mereka “satu daging”, tidak terkuras
habis hanya untuk suami-istri berdua saja, mungkin, untuk mana mereka menjadi
rekan kerja Allah dalam meneruskan kehidupan baru dan menumbuh-kembangkannya
menjadi pribadi manusia. Demikianlah, ketika suami-istri saling memberikan
diri, mereka melangkah melampaui relasi mereka sendiri dengan melahirkan anak:
cermin hidup dari cinta-kasih mereka sendiri, tanda tetap dari ke-satu-an
relasi mereka, dan ungkapan yang nyata dan tak terpisahkan dari status mereka
sebagai ayah dan ibu”.
2.2.6.4
Tugas Keluarga Katolik
Seruan Apostolik Familiaris Consortio (Kerukunan keluarga) dari Paus Yohanes Paulus
II (Dokpen KWI, 1993:33-34) menekankan pentingnya peranan keluarga kristiani
dalam hidup menggereja dan bermasyarakat. Pada saat sinode para uskup sedunia
pada tahun 1980 di Roma, dinyatakan bahwa keluarga sebagai komunitas hidup dan
cinta mempunyai 4 tugas penting : 1. Membentuk Komunitas antar pribadi, yang
sederjat atas dasar cinta yang eksklusif dan berciri tidak terceraikan. 2. Mengabdi
kepada kehidupan, yakni bahwa cinta suami-istri harus bersifat subur, baik
dalam arti terbuka kepada keturunan maupun dalam arti membuahkan kekayaan moral
dan spiritual. 3. Ikut serta dalam pembangunan masyarakat, yakni bahwa keluarga
bukan saja merupakan sel masyarakat yang pertama dan sekolah hidup
bermasyarakat, tetapi juga mempunyai tugas dan peranan sosial kemasyarakatan.
4. Ikut serta dalam hidup dan pengutusan Gereja, yakni bahwa keluarga kristiani
harus membentuk diri sebagai “Gereja Mini”, membangun umat Allah dengan
membangun diri sebagai umat Allah pula, menjalankan tugas kenabian (mengajar),
menguduskan dan kegembalaan sesuai peranan dan fungsi masing-masing.
2.2.6.5 Kesulitan-kesulitan Hidup
Berkeluarga
Sujoko (2011:144-149). Gereja Katolik
mengajarkan bahwa hidup berkeluarga adalah suatu panggilan yang berasal dari
Tuhan. Sebagai bentuk panggilan, hidup berkeluarga menuntut tanggung jawab dan
kesetiaan penuh. Hidup berkeluarga bukanlah suatu hal yang mudah. Hidup
berkeluarga menjanjikan banyak kemungkinan kebahagiaan, namun sama banyaknya
pula mengandung kemungkinan penderitaan dan kesulitan.
Ø
Menjaga kesetiaan janji perkawinan
Hal yang paling penting dalam
relasi atau hubungan pria dan wanita bukanlah hanya soal jatuh cinta, melainkan
kesetian dalam cinta tersebut. Jatuh cinta adalah suatu perasaan afektif emosional
atau bahkan mungkin dorongan biologis-natural karena daya tarik fisik dari dua
manusia berbeda kelamin. Kesetiaan cinta adalah suatu keputusan kehendak untuk
tetap pada komitmen atau tanggungjawab membangun relasi yang menetap. Kesetiaan
cinta adalah hal yang lebih sulit untuk dipertahankan dari pada perasaan jatuh
cinta untuk pertama kalinya. Kesetiaan cinta lebih merupakan seni membangun
relasi dan seperti halnya menghasilkan setiap karya seni, hal mencitai
membutuhkan disiplin diri, konsentrasi, pemberian waktu, tenaga yang sengaja
disediakan untuk membangun cinta itu.
Kesulitan dibidang kesetiaan cinta lebih berat lagi diuji
apabila pada saat-saat yang mengecewakan, masing-masing lari dari kenyataan
atau bahkan lari mencari orang lain. Banyak pasangan yang kandas di tengah
jalan karena ketidakmampuan mereka keluar dari masa krisis itu. Mereka tidak
mampu mengatasi kekecewaan dan kejengkelan atau tidak mampu memaafkan
kesalahan-kesalahan pasangan sehingga akhirnya mereka memilih untuk berpisah.
Kesetiaan cinta suami-istri bukanlah hal yang mudah, namun sangat penting dalam
perkawinan.
Ø
Kesulitan berkomunikasi
Dalam
perkawinan, komunikasi adalah cara membengun relasi untuk mempertahankan cinta
kasih suami-istri. Komunikasi suami-istri adalah komunikasi yang paling dekat,
akrab, intim dan mesra dibandingkan dengan komunikasi manapunm di antara
manusia. Mereka dapat menggunakan bahasa-bahasa sandi yang hanya mereka sendiri
yang tahu. Suami-istri adalah dua orang yang berkomunikasi secara total dalam
keseluruhan hidup.
Komunikasi
pasangan sumi istri bukanlah merupakan sutu hal yang mudah. Diperlukan
keseimbangan antara keintiman dan kebebasan. Dari satu pihak, komunikasi dapat
berjalan dengan baik kalau pasangan suami-istri tersebut akrab dan dekat.
Mereka perlu saling terikat dan terlibat dalam banyak hal dan menikmati suasana
saling membagi cinta.
Kalau
pasangan tidak mampu menciptakan keseimbangan antara keitiman dan kebebasan,
maka komunikasi menjadi sulit. Keitiman tanpa kebebasan membuat pasangan merasa
terbelenggu dan dibatasi ruang geraknya. Ia merasa dikekang dan diatur dalam
segala hal. Cinta yang terlalu posessif
(rasa memiliki secara berlebihan) akan membuat pasangan menurut secara
terpaksa. Sebaliknya, kebebasan tanpa keintiman membuat pasangan ada dalam
bahayanya penyelewengan. Pasutri semacam itu adalah dua orang bebas, yang
masing-masing sibuk dengan pekerjaan dan hidupnya sendiri. Ikatan perkawinan
mereka hanya bercorak formal tanpa adanya perasaan kedekatan sebagai
suami-isteri.
Ø
Kesulitan Keluar Dari Konflik
Konflik tidak mungkin dihindari
dalam setiap perkawinan. Orang tidak usah mengharapkan bahwa kebahagiaan
perkawinan adalah kerukunan tanpa konflik: Kadang-kadang konflik itubahkan
dipelukan sebagai “bumbu penyedap” atau variasi hidup rumah tangga. Hal itu
dkatakan karena memang konflik tidak pernah bisa dihindari sama sekali dalam
hidup berkeluarga. Sehingga yang menjadi persoalan sesungguhnya bukanlah adanya
konflik, melainkan bagaimana caranya keluar dari konflik. Konflik akan selalu
terjadi karena yang menjadi sumbernya adalah kenyataan bahwa pasutri hidup
bersama. Kalau seseorang hidup sendirian di tengah hutan, pasti tidak akan
mengalami konflik. Kebersamaan hidup dua pribadi suami-istri itulah yang
memungkinkan adanya salah paham, perbedaan pendapat, cemburu, minta perhatian,
berbeda keinginan dan selera yang ujung-ujungnya menghasilkan pertengkaran.
Konflik bisa terjadi menyangkut
cara mendidik anak, soal anggaran belanja yang kurang, soal hubungan dengan
keluarga sampai pada soal-soal pribadi menyangkut kesetiaan suami dan istri.
Konflik yang menyangkut kesetiaan suami istri merupakan konflik yang paling
serius dan jika tidak terselesaikan, akan membahayakan ikatan perkawinan
pasutri tersebut. Pengingkaran terhadap janji perkawinan merupakan masalah yang
paling berat yang dapat menhancurkan kehidupan rumah tangga. Menghadapi akan situasi seperti ini, pasangan
ditantang untuk memiliki semangat pengampunan. Tanpa adanya pengampunan dari
salah satu pihak dalam pasutri maka hidup rumah tangga akan sulit
dipertahankan. Biasanya faktor yang menguatkan keadaan tersebut yakni anak-anak
mereka sendiri. Walaupun secara pribadi mereka tidak mampu lagi untuk hidup
bersama, namun demi anak-anak kadang-kadang pasangan suami istri tersebut
berpikir dua kali untuk bercerai. Kehadiran anak-anak sungguh-sungguh merupakan
kekuatan dan semangat hidup dalam berkeluarga.
2.3 Keluarga sebagai Gereja Kecil
Dalam Ensiklik Familiaris Consortio
menyebut secara jelas keluarga sebagai gereja mini (FC 49). Sebutan keluarga sebagai gereja mini merujuk pada panggilan keluarga
yang juga merupakan panggilan gereja. Gereja dipanggil untuk mewartakan
kerajaan Allah demikian pula halnya keluarga sebagai unit terkecil dari gereja.
Dengan kata lain keluarga juga dipanggil untuk membangun kerajaan Allah dalam
sejarah dengan ikut menghayati kehidupan dan misi gereja.
Keluarga sebagai gereja kecil atau
seperti kata St Yohanes Christotomus sebagai gereja rumah tangga adalah tempat
Yesus Kristus hidup dan berkarya untuk keselamatan manusia dan berkembangnya
kerajaan Allah. Angggota-anggota keluarga yang terpanggil untuk iman dan hidup
kekal adalah”peserta-peserta dalam lingkup kodrat ilahi” (2 Pet 1,4). Artinya
setiap anggota keluarga itu mengambil bagian dalam kodrat ilahi. Paus Paulus VI
mempertajam pengertian keluarga sebagai gereja kecil dalam ensikliknya
Evangelii Nutiandi, beliau menulis:
”…Keluarga patut diberi nama yang indah yaitu sebagai Gereja rumah
tangga (domestik). Ini berarti bahwa di dalam setiap keluarga Kristiani
hendaknya terdapat bermacam-macam segi dari seluruh Gereja.” Sebagai Gereja,
keluarga itu merupakan tubuh Yesus Kristus.
Sebagai Gereja juga, setiap keluarga dipanggil untuk menyatakan kasih
Allah yang begitu luar biasa baik di dalam maupun di luar keluarga. Oleh karena
itu, setiap anggota keluarga diberi makan sabda Allah dan sakramen-sakramen.
Mereka pun seharusnya bisa mengungkapkan diri dalam cara pikir dan memiliki
tingkah laku yang sesuai dengan semangat injil. (http://www.carmelia.net/)
2.3.1 Membangun Dasar-dasar Penting
dalam Sebuah Keluarga
2.3.1.1 Cor Unum Unima Una
(Komkat Keuskupan Manado 2010:9) Hendaknyalah
kita sehati dan sejiwa (seia-sekata), sebagai keluarga kristiani yang sejati.
Keluarga yang sehati dan sejiwa adalah sebuah keluarga yang kendati
berbeda-beda tetapi mempunyai satu tujuan, satu semangat, satu rencana, satu
kesepakatan hidup yang sama.
Tanda-tanda sebuah keluarga yang sehati
dan sejiwa sebagai keluarga kristiani ialah:
-
Seluruh anggota keluarga memiliki hubungan yang harmonis. Komunikasi yang
lancar antar anggota keluarga, penuh dengan canda-ria, saling memberi senyum
satu dengan yang lain, sering mengungkapkan rasa sayang dengan ciuman di pipi
atau dahi, bahkan adakalanya saling “memanjakan” satu sama lain.
-
Bapak, ibu, dan anak-anak saling bertukar pikiran tentang segala hal. Jika
ada sesuatu yang mengganjal maka anggota keluarga saling men”curhat”-kannya
satu sama lain. Perbedaan pendapat tentu saja boleh ada dan boleh dikemukakan
dengan baik. Anak-anak diberikan kesempatan untuk mengungkapkan peristiwa atau
pengalaman di “dunia”nya. Orang tua mendengarkan dengan penuh perhatian. Begitu
pula sebaiknya.
-
Bapak, ibu dan anak-anak kompak dalam melakukan suatu kegiatan yang
disepakati bersama, misalnya: pergi ke gereja bersama setiap hari Minggu dan
hari raya, duduk berdampingan, berdoa bersama saat makan, sebelum dan sesudah
tidur, atau bahkan disaat saling menguatkan (saling mendoakan sambil
menumpangkan tangan).
2.3.1.2 Credo
(Komkat Keuskupan Manado 2010:20). Credo atau saling percaya dalam
keluarga. Artinya saling mempercayai antar anggota keluarga, suami mempercayai
istri, istri mempercayai suami. Orangtua
mempercayai anak,anak mempercayai orangtua. Kakak mempercayai adik, adik
mempercayai kakak. Anggota keluarga satu dengan yang lainnya saling menghargai
dan mempercayai. Dengan kata lain: semuanya dapat dipercayai.
Tanda-tanda keluarga yang saling
mempercayai:
-
Suami tidak mencurigai istri yang akan ikut arisan, atau mau keluar rumah.
-
Istri tidak cemas kalau suami pergi kerja, atau terlambat pulang.
-
Orangtua tidak kawatir meletakan barang berharga di rumah; anak-anak tahu menghargai
barang milik orang lain
-
Anak-anak terbuka mempercayakan suka dukanya atau rahasia pribadinya pada
orangtuanya, orangtua menjaga rahasia cerita anak-anaknya.
-
Kakak adik terbuka: suka dukanya dibagikan tanpa beban. Semua anggota
keluarga dapat dipercaya.
2.3.1.3 Sanctus, Sanctus, Sanctus
(Komkat Keuskupan Manado 2010:30). Setiap
keluarga dipanggil menjadi keluarga kudus. Keluarga kudus berarti semua anggota
keluarganya berusaha hidup suci, saleh dan murni, baik dalam hati dan pikiran,
dalam perkataaan dan perbuatan.
Tanda-tanda sebuah keluarga kudus ialah:
-
Semua anggota keluarga berpikir dan berbuat baik, suci, murni, kudus; tak
ada kata-kata kotor, tak ada pikiran-pikiran jahat, tak ada tindakan-tindakan
yang melawan kekudusan Tuhan.
-
Semua anggota keluarga menguduskan diri melalui doa pribadi dan doa
bersama, sakramen-sakramen terutama sakramen pengampunan dan ekaristi, rajin
membaca Kitab Suci; terdapat banyak lagu-lagu rohani, buku-buku rohani yang
didengar, dibaca dan disharingkan.
-
Seperti Yosef dan Maria, keluarga bisa saja mengalami tantangan, kesulitan,
kemiskinan, penolakan, pengungian, beban kehidupan yang berat, namun mereka
tetap dekat pada Tuhan, menjaga dan mengembangkan tugas dan tanggung jawab
dengan sepenuh hati.
2.3.1.4 Ad Gentes
(Komkat Keuskupan Manado 2010:41-42). Kata
‘Ad Gentes’ berarti Kepada Para Bangsa. Sesudah mengupayakan kemajuan dalam hal
sehati sejiwa, saling mempercayai, dalam hal kemurnian dan kekudusan, keluarga
harus memperhatikan salah satu tugasnya yakni: bertumbuh dalam iman dan
mewartakan atau memberi kesaksian tentang iman kristiani. Keluarga dipanggil
menjadi gereja kecil atau gereja rumahtangga (ecclesiola, ecclesia domestica); artinya keluarga yang beriman,
yang memiliki kebiasaan kristiani. Nilai-nilai ini mau tidak mau akan terpancar
keluar, orang akan bisa melihat dan mengalaminya.
Manakah keluarga yang ‘ad gentes’?
-
Anggotanya hidup dalam iman akan Tuhan: artinya Tuhan menjadi pusat
keidupan dan apa yang dihidupi, dilaksanakan, sebab iman tanpa perbuatan adalah
mati. Semua anggota keluarga mengasihi dan menghormati Allah dan kehendak-Nya.
-
Keluarga menjadi sekolah iman: pusat pembinaan kebiasaan dan budaya
katolik; keluarga menjadi sekolah keutamaan-keutamaan kristiani: sosial,
religiositas, akal budi, sopan santun; orang-tua menjadi ‘guru iman’ begitu
juga kakak-kakak terhadap adik-adiknya.
-
Bagai gereja kecil: keluarga memiliki kebiasaan berdoa bersama, membaca
Kitab Suci atau buku-buku rohani, saling mendoakan sesama anggota keluarga;
bahkan mempunyai kebiasaan mengunjungi/mendoakan orang lain.
-
Kerelaan untuk berbagi dengan sesama: keluarga yang murah hati, dalam
hal-hal materi maupun hal-hal rohani; dengan mudah membagi kelebihan materinya
dan juga kekayaan rohani: terutama bagi mereka yang amat membutuhkan. Anak-anak
paka dan solider dengan sesamanya yang lebih malang: children helping children, family helping family, melalui: doa,
derma, kurban, kesaksian. Keluarga rela membantu dan menolong sesama umat, juga
kepentingan-kepentingan gereja, tanpa pamrih dan sepenuh hati.
-
Terlibat aktif dalam kelompok/komunitas basis/wilayah rohani: merasa diri
sebagai bagian dari umat Allah: hadir dalam pertemuan wilayah rohani dihayati
sebagai saat membahagiakan bertemu dengan tetangga, kehadiranku membawa berkat
bagi keluarga yang dikunjungi, walau hanya menyapa, memberi senyum tulus.
-
Keluarga adalah menjadi house of God
(rumah Allah) karena kebaikan Allah ditampilkan, kelihatan dari kehadiran
setiap anggota keluarga, Allah tinggal dalam rumah karena cara hidup setiap
anggota. Keluarga menjadi house of love
(rumah cinta) karena setiap anggota keluarga saling memperhatikan, saling
menyapa, ada tawa ria dan canda. Keluarga adalah house of unity (rumah persekutuan) karena masing-masing merasa satu
keluarga, bersama mengusahakan kekudusan, ada rasa bersalah bila mengingkari
komitmen menjadi keluarga kudus.
Keluarga adalah lambang persekutuan
Allah; Bapa, Putra dan Roh Kudus. Masing-masing pribadi punya peran, tugas dan
tanggung jawab. Dalam persekutuan dan saling melengkapi masing-masing
mengungkapkan perannya bagi kebaikan sesama anggota keluarga/umat. Bapa yang
mencipta, Putra yang menebus dan Roh Kudus yang membimbing manusia untuk
kembali pada keselamatan Allah.
Hidup berkeluarga ternyata bukan hanya
urusan dua orang saja seorang suami dan seorang istri. Dalam satu keluarga yang
kudus perlu ada pihak ketiga yaitu Allah yang menjadi dasar rumah tangga. Allah
inilah juga yang menjadi dasar keluarga menjadi keluaraga ‘misioner’, menjadi
‘utusan Allah’ di tengah-tengah dunia, yang ad
gentes.
2.3.1.5 Mea Culpa, Mea Culpa
(Komkat Keuskupan Manado 2010:52). Keluarga
dipanggil menjadi keluarga yang bertobat dan yang mengampuni, yang berani
berkata mea culpa, mea culpa,
artinya: saya berdosa, saya bersalah. Salah satu ciri keluarga sejati ialah:
jika ada yang bersalah, ia mengaku salah, ia bertobabt dan mendapatkan
pengampunan. Semua anggota keluarga berupaya saling menolong agar tidak terjadi
dosa dan pelanggaran, dan agar terjadi pertobatan dan pengampunan.
Tanda-tanda keluarga yang bertobat dan
mengampuni:
-
Jika ada yang bersalah, ia menyesal dan bertobat; yang lain pun memaafkan
dan mengampuni. Tiada penghukuman, tiada penghakiman, hanya ada kesempatan
hidup baru, kesempata berubah.
-
Tidak ada kebiasaan menyimpan marah, dendam, ancaman; sebelum matahari
terbenan semua akan mencari kesempatan untuk terjadinya perdamaian.
-
Orang-tua dan anak saling mengingatkan akan pentingnya dan indahnya
sakramen pengampunan
2.3.2. Keluarga adalah Gereja Rumah
Tangga
Gereja rumah tangga adalah tempat di dalam Gereja universal
dimana kehidupan dikandung, dipelihara, dan dicintai. Keluarga adalah sekolah
cinta kasih bagi seluruh Gereja. Keluarga adalah sumber cinta kasih dari
kehidupan pasangan suami istri dan kehidupan baru yang mereka mulai dan
pelihara. Tanpa Gereja rumah tangga, tidak ada Gereja, karena didalamnyalah
cinta kasih, yang merupakan hakikat Allah, dijaga tetapi hidup. (Maurice 2001 :
242)
2.3.3. Hidup Keluarga Sebagai
Realitas Multi-Dimensional
Hidup
berkeluarga adalah realitas yang multi dimensional. Hidup berkeluarga memiliki
banyak segi dan kita perlu memperhitungkan setiap segi itu supaya memiliki
gambaran yang utuh tentang hidup berkeluarga.
2.3.3.1 Hidup berkeluarga sebagai
realitas sosial.
Dalam pengaturan perkawinan dan
keluarga, dimensi sosial ini kadang-kadang lebih penting dari pada cinta dan
daya tarik seksual. dalam masyarakat tertentu perkawinan menjadi urusan adat
dan orang tua. sering terjadi bahwa kepentingan adat, keluarga besar, marga, orang
tua lebih kuat dari pada perasaan cinta personal semata. hal itu menunjukkan
bahwa perkawinan memiliki dimensi sosial yang sangat kuat. (Sujoko 2011:118)
2.3.3.2 Realitas Ekonomis
Kebutuhan
ekonomi adalah kebutuhan dasar manusia. Manusia membutuhkan pangan, sandang dan
papan, kesehatan, pendidikan serta fasilitas-fasilitas lain yang perlu untuk
hidup dan berkembang. Hidup berkeluarga memiliki dimensi ekonomis. Para anggota
keluarga membutuhkan kegiatan ekonomi dalam bentuk apapun untuk menhasilkan pendapatan
guna mencukupi kebutuhan hidup. Untuk itu diperlukan pekerjaan atau kegiatan
ekonomi lainnya yang menjadi sumber panghasilan. Masalah Keuangan merupakan
masalah yang sangat penting dalam hidup berkeluarga. Kesatuan suami-istri yang
harmonis tidak bisa dilepaskan dari masalah pengaturan keuangan. Apabila
suami-istri saling mempercayakan harta dan keuangan mereka dengan jujur dan
tulus, keduanya terbantu dalam proses pemberian diri satu kepada yang lain, di
mana harta kita berada, disana hati kita juga berada. (Sujoko 2011:118-119)
2.3.3.3 Realitas seksual
Secara natural cinta pria dan wanita
yang disatukan dalam perkawinan bercorak seksual. Pada awalnya mereka saling
jatuh cinta juga karena daya tarik seksual. Pria dan wanita saling menyerahkan
diri dalam perkawinan karena mereka ingin mengalami hubungan seksual yang
membahagiakan dan menghasilkan keturunan. Para suami-istri yang telah menikah
sah perlu memiliki pandangan yang sehat tentang seks. Seks bukanlah sesuatu
yang memalukan, melainkan suatu anugrah Allah yang sangat indah. Tubuh manusia
adalah sesuatu yang indah. Para pelukis, pemahat dan juru potret telah bekerja
selama berabad-abad untuk menangkap dan menampilkan keindahan tubuh manusia.
Tubuh juga adalah tempat yang suci, tempat Tuhan bersemayam. Dalam teologi
kristiani, Allah berkenan menjadi “daging” dalam misteri inkarnasi untuk
menjadi sama dengan manusia dalam segala hal, kecuali dalam hal dosa. Keindahan
tubuh menjadi nyata dalam ungkapan seksual dan pernyataan cinta dalam
perkawinan. (Sujoko 2011:120-122)
2.3.3.4 Realitas
relasional-biologis
Dari
pusat kehidupan keluarga yaitu hubungan seksual suami-istri lahirlah anak-anak
sebagai buah cinta mereka. Untuk pertama kalinya manusia diikat dengan hubungan
darah. Anak-anak yang lahir memiliki darah yang berasal dari bapa dan ibunya.
Seringkali secara fisik anak-anak mirip dengan orang tuanya. Demikian pula
hubungan antara kakak dan adik dalam keluarga diikat oleh hubungan sedarah atau
relasi biologis. Hubungan mereka secara natural menjadi begitu dekat dan akrab
karena mereka kakak-beradik yang memiliki asal-usul yang sama. (Sujoko
2011:122)
2.3.3.5 Realitas
relasional-afektif-emosional
Hidup berkeluarga juga merupakan
lingkungan kehidupan yang sarat dengan muatan-muatan afeksi dan emosi. Hal itu
berdasarkan kenyataan bahwa rumah tangga itu sendiri dibangun atas dasar afeksi
dan emosi yang disebut cinta dan kasih sayang antara suami istri. Suami-istri
pada mulanya bukan siapa-siapa, namun kemudian karena cinta mereka dapat
menjalin kebersamaan hidup yang lebih kuat dari relasi manapun. Ketertarikan
timbal balik yang penuh dengan persamaan cinta, afeksi dan emosi itulah yang
mendasari relasi suami istri. Kemudian setelah anak-anak lahir, hubungan
efektif dan emosional itu terjadi hari demi hari di dalam lingkungan keluarga
sejak anak lahir sampai dewasa. Keluarga yang harmonis akan menjadi lingkungan
afektif-emosional yang sehat bagi anak-anak. sebaliknya dari keluarga broken home akan dihasilkan pula
anak-anak yang hidupnya pahit dan penuh penderitaan. (Sujoko 2011:123-124)
2.3.3.6 Realitas edukatif
Dimensi
lain kehidupan keluarga ialah peranannya dalam mendidik anak-anak. Orang tua
memiliki tugas luhur untuk melahirkan dan mendidik anak-anak. Keluarga sebagai
realitas edukatif memiliki peranan yang sangat vital. Anak-anak belajar
kebersihan dari lingkungan keluarga. Anak-anak belajar kejujuran dan
kesederhanaan dari sikap-sikap orang tuanya sendiri. Semakin banyak keluarga
yang kokoh, tentu masyarakat dan Gereja juga semakin baik. Semakin banyak
keluarga yang rusak, maka masyarakat juga akan rusak. Peranan keluarga sebagai
relaitas edukatif sangatlah besar. (Sujoko 2011:124-125)
2.3.3.7 Penjamin kesehatan (bersih
dan higienis)
Kesehatan adalah bagian yang sangat
penting bagi manusia. Keluarga hendaknya menusahakan kesehatan bagi para
anggotanya secara maksimal. Usaha itu bisa dilakukan secara preventif dan
curatif. Secara preventif keluarga menyediakan makanan yang bergizi, keadaan
rumah yang bersih dan ventilasi yang baik, pakaian yang dicuci bersih, waktu
istirahat yang cukup, ada waktu olahraga dan pelbagai cara lainnya yang bisa
berguna untuk mempertahankan kebugaran jasmani. Secara curatif berarti keluarga
mengusahakan kesembuhan bagi anggotanya yang sakit. Keluarga adalah tempat
dimana setiap anggotanya bergantung terlebih pada waktu sakit. Anggota keluarga
yang sakit hendaknya dirawat sebaik-baiknya sampai sembuh. (Sujoko 2011:126)
2.3.3.8 Realitas rekreatif
Rekreasi
adalah salah satu unsur yang penting bagi kehidupan manusia. Rekreasi adalah
usaha untuk menciptakan kembali, penyegaran kembali, pemulihan tenaga dan
semangat kembali setelah mengalami suatu kejenuhan, kepenatan dan kelelahan.
Keluarga hendaknya menjadi tempat rekreasi yang menyenangkan bagi para
anggotanya. Alangkah baiknya apabila keluarga itu bisa menciptakan suatu
suasana rekreatif yang menyegarkan. Keluarga hendaknya menjadi tempat dimana
para anggotanya ingin cepat pulang ke rumah. (Sujoko 2011:126)
2.3.3.9 Realitas Regilius
Dimensi religius hidup berkeluarga
nampak dalam spiritualitas hidup perkawinan yang ditandai oleh pengorbanan,
pelayanan, pemberian diri. Jika kita mengartikan religiusitas dalam arti
kerohanian yang lebih luas dari praktek keagamaan, maka bagi keluarga yang
tidak beragama, keluarga modern yang humanispun kita bisa bicara dimensi rohani
yang nampak dalam kesetian, kerukunan, cinta kasih, saling menolong, saling
memberikan diri. Jika kemampuan untuk memaafkan dan mengampuni bila ada konflik
termasuk dalam dimensi religius itu. (Sujoko 2011:128-129)
2.3.4 Peran dan Tugas Keluarga
sebagai Gereja Kecil
Keluarga tergolong kaum awam dalam
Gereja. Sebagai kaum awam, keluarga dipanggil dan diutus untuk ikut mengemban
tugas imamat, kenabian dan rajawi Kristus dengan cara mereka sendiri. (LG.31).
Konsili Vatikan II dalam Konstitusi Lumen Gentium 35 mengatakan bahwa para awam
menjadi bentara yang tangguh dan pewarta iman akan hal-hak yang diharapkan.
Penyiaran Injil Yesus Kristus yang disampaikan lewat kesaksian hidup dan
kata-kata, memperoleh ciri yang khas dan daya guna yang istimewa justru karena
dijalankan dalam keadaan-keadaan biasa dunia ini. Dan suami-istri mempunyai
panggilan yang khusus yakni memberi kesaksian iman dan cinta kasih akan Kristus
seorang terhadap yang lain, dan kepada anak-anak mereka. (Hello 2004:63)
Keluarga bukan hanya merupakan sebuah
komunitas basis manusiawi belaka, melainkan juga komunitas basis gerejawi yang
mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah. Hidup keluarga ini menampakan
hidup Gereja sebagai suatu persekutuan (Koinonia) dalam bentuk yang paling
kecil namun mendasar, yang merayakan iman melalui doa peribadatan (Leiturgia),
mewujudkan pelayanan (Diakonia) melalui pekerjaan, dan memberi kesaksian
(Martyria) dalam pergaulan; semuanya itu menjadi sarana penginjilan (Kerygma)
yang baru. Maka keluarga adalah sungguh-sungguh Gereja rumah-tangga karena
mengambil bagian dalam lima tugas Gereja. (KWI 2011:15)
2.3.4.1 Keluarga Sebagai
Persekutuan Iman (Koinonia)
Gereja adalah persekutuan umat beriman.
Demikian pula keluarga adalah persekutuan
orang-orang beriman. Para anggota disatukan dalam iman yang sama. Dengan
sendirinya keluarga seperti ini hanya berlaku untuk keluarga yang semua anggota
keluarganya beriman katolik. Keluarga kawin campur atau keluarga yang
anggotanya adalah pemeluk beberapa agama tidak termasuk dalam kategori ini.
Karena dimensi koinonia mengutamakan pentingnya kesatuan iman. Keluarga
kristiani mempersiapkan , melaksanakan, atau menghidupi rumahtangganya dalam
kerangka iman katolik. Relasi hidup berkeluarga sebagai kesatuan iman nampak
dalam persatuan suami-istri dan persatuan orang tua dengan anak-anaknya.
Beberapa unsur dimensi koinonia dalam kehidupan keluarga yakni membina
persatuan suami-istri, membiasakan dialog dan percakapan, menjaga kesetiaan
ikatan perkawinan, saling menolong dalam urusan rumah tangga, membina kesatuan
orangtua dengan anak-anak, Orang tua sahabat anak-anaknya, mendidik anak untuk
terbuka dan melatih kerja. (Sujoko 2011:164-170)
2.3.4.2 Keluarga Sebagai
Persekutuan Doa
Doa keluarga adalah tanda kesatuan yang
sangat penting. Dalam berdoa bersama, keluarga mewujudkan dirinya sebagai ecclesia domestica. Doa keluarga
memberikan suasana yang baik bagi pertumbuhan rohani bagi para anggotanya.
Orang tua yang memperhatikan hal ini telah membuat hal yang paling tepat untuk
keluarganya. Pastoral keluarga perlu diarahkan oleh visi yang mendorong
keluarga untuk melakukan doa bersama. Banyak hambatan dialami oleh keluarga
untuk mewujudkan doa bersama. Penaggungjawab dan inisiatif pertama adalah orang
tua. Tetapi pada kenyataannya sering orang tua enggan melakukan hal itu.
Pengaruh dari kehidupan modern juga sering menyebabkan doa keluarga menjadi
sulit. Pengaruh TV dan pelbagai macam kegiatan yang menjadi bagian dari gaya
hidup, tidak memberi tempat bagi kebiasaan keluarga untuk berdoa. Dalam hal
mewujudkan doa keluarga, maka sebaiknya ada bantuan dari para pemimpin umat.
Katekese keluarga perlu diadakan untuk
memberikan motivasi dengan cara menjelaskan pentingnya menciptakan suasana doa
dalam keluarga. Bebera hal penting yang perlu ditegaskan untuk mewujudkan doa
keluarga yakni menyediakan perlengkapan doa, doa harian keluarga, dan doa pada
kesempatan Khusus. (Sujoko 2011:171-173)
2.3.4.3 Keluarga Sebagai
Persekutuan yang Mewartakan
Iman perlu diwartakan. Keluarga sebagai
persekutuan iman mengemban tugas untuk mewartakan iman. Keluarga perlu menjadi
tempat dimana pewartaan iman itu terjadi. Sema seperti Gereja, demikian pula
keluarga bertugas untuk mewartakan injil. Tanda bahwa keluarga adalah Gereja
rumah maka harus ada pewartaan injil didalamnya. Pewartaan injil itu
pertama-tama harus terjadi di dalam keluarga itu sendiri. Kalau penginjilan
sudah terjadi di dalam rumah, maka pewartaan keluarga itu memancar pula kepada
tetangga. Seperti Gereja, Keluarga menjadi pewartaan injil untuk orang lain.
Bahkan keluarga yang mewartakan itu merupakan wujud Gereja yang mewartakan
injil. Melalui keluarga-keluarga kristiani Gereja Kristus mewartakan injil.
Tugas kerasulan keluarga itu berakar dalam sakramen babtis dan sakramen
perkawinan. Mereka mengemban tugas untuk menyiarkan iman dan mewarnai hidup
masyarakat selaras dengan rencana Allah. Untuk dapat mewujudkan tugas pewartaan
keluarga, maka sarana pewartaan perlu disediakan seperti menyediakan sarana
katekese, mendalami Kitab Suci dalam keluarga dan mengajarkan iman orang tua
kepada anak-anak. (Sujoko 2011:174-176)
2.3.4.4 Keluarga Sebagai
Persekutuan yang Melayani
Salah satu semangat hidup atau
spiritualitas kristiani adalah pelayanan.
Pendidikan untuk melayani sejalan dengan visi kristiani tentang
perkembangan. Perkembangan sejati seorang manusia terletak dalam kamampuannya
untuk keluar dari dirinya dan bisa melayani orang lain. Keluarga menjadi tempat
di mana suami-istri dan anak-anak belajar untuk saling melayani. Secara lebih
konkret usaha-usaha ke arah perkembangan itu diusahakan antara lain melalui
beberapa tahap yakni membina sikap untuk memperhatikan sesama, membina sikap
mandiri dan membina sikap melayani. (Sujoko 2011:177-180)
2.3.4.5 Keluarga Sebagai
Persekutuan yang Bersaksi
Iman dalam keluarga sebagai Gereja Rumah
yang mewarnai cara hidup para anggotanya bisa menjadi kesaksian iman bagi
lingkungan sekitar. Keberadaan keluarga Kristiani di tengah masyarakat
hendaknya menjadi tanda hadirnya kebaikan dan kasih yang mendasari semangat
Injil. Tugas misioner keluarga berdasar pada permandian dan menerima kekuatan
baru dalam sakramen perkawinan. Sakramen itu memberikan iman dan membentuk
pengudusan supaya keluarga hidup sesuai dengan rencana Allah. Keluarga perlu
mendidik anak-anaknya supaya terbuka untuk menerima panggilan Allah. Keluarga
perlu terbuka bagi nilai-nilai transenden dalam kegembiraan pelayanan bagi
sesamanya. (Sujoko 2011:180-181)
III
METODOLOGI
PENELITIAN
3.1
Tempat
Penelitian
Dalam
penelitian ini yang menjadi lokus penelitian adalah Stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso
Baru, Kecamatan Motoling, Kabupaten Minahasa Selatan, Provinsi Sulawesi Utara.
Stasi ini memiliki 4 wilayah rohani.
3.2 Teknik
Penelitian
Dalam
penelitian ini, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif untuk
menggali problematika kehidupan
berkeluarga demi tercapainya kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil di Stasi
St Markus Raanan Lama.
3.3. Populasi dan Sampel
3.3.1.
Populasi
Populasi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah keseluruhan
keluarga-keluarga Katolik yang berada di Stasi St. Markus Raanan Lama. Dengan
Jumlah KK 95 dan
285 jiwa.
3.3.2. Sampel
Dalam penelitian ini, peneliti akan
menggunakan non-probability sampling dengan
jenis purposive sampling yang akan
memilih orang-orang yang berpengalaman berdasarkan ciri-ciri khusus yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
populasi yang sudah diketahui. Sampel
penelitian telah dipilih dan ditentukan dengan pertimbangan dan
tujuan tertentu,
misalnya orang yang dianggap tahu
atau berkompeten dengan data
apa yang peneliti
harapkan.
3.4 Data dan Sumber Data
Data yang dikumpulkan
oleh peneliti dalam penelitian
yang memakai tehnik wawancara adalah data kalimat. Sedangkan yang menjadi
sumber data bagi peneliti adalah:
1. Informan
: Pastor paroki, ketua dewan pastoral stasi, ketua
wilayah rohani dan bapak/ibu
dalam keluarga.
2. Sumber
Tertulis
3.5 Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan teknik pengumpulan data observasi, wawancara, dan dokumentasi.
3.6
Analisis Data
Dalam penelitian ini, proses analisa data yang akan
dibuat oleh peneliti meliputi tiga tahap, yakni:
a. Reduksi
Data (Data Reduction)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup
banyak, untuk itu perlu analisis data melalui reduksi data. Mereduksi berarti
merangkum, memilih hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dengan
demikian, data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih jelas
dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan
mencarinya bila diperlukan.
b. Penyajian
Data (Data Display)
Setelah data direduksi, maka langkah
selanjutnya adalah mendisplay data. Dalam penelitian kualitatif, penyajian data
dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowcard
dan sejenisnya. Melalui penyajian data tersebut, data terorganisasikan atau
tersusun dalam pola hubungan sedemikian sehingga akan mudah dipahami.
c. Penyimpulan/
Verifikasi (Conclusion Drawing/
Verification)
Setelah
data direduksi dan dibuat penyajiannya, maka peneliti membuat verifikasi atau
penarikan kesimpulan. Kesimpulan ini tidak lain adalah temuan baru yang diperoleh
dari data-data penelitian.
3.7 Alat Pengumpulan Data
Alat yang digunakan peneliti dalam pengumpulan data adalah
sebagai berikut:
1) Pedoman Wawancara : Wawancara
disebut juga interview yaitu proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab yang
mendalam sambil bertatap muka dan berkomunikasi langsung berkaitan dengan
masalah yang diteliti.
2) Kamera
: Berfungsi untuk memotret kalau peneliti sedang melakukan pengamatan dalam
melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan penelitian.
3) Buku
catatan : Berfungsi untuk mencatat hal-hal yang diperlukan untuk melengkapi data-data
peneliti.
3.8.
Pemeriksaan Keabsahan Data
Peneliti akan berusaha membuat
pemeriksaan keabsahan data. Uji keabsahan data yang akan dibuat peneliti antara
lain, sebagai berikut:
3.8.1.
Kredibilitas
Uji kredibilitas data atau kepercayaan terhadap data
penelitian kualitas antara lain lakukan dengan perpanjangan pengamatan,
peningkatan ketekunan dalam penelitian triangulasi, analisis kasus negatif.
a. Perpanjangan
pengamatan
Dengan perpanjangan pengamatan
dimaksudkan peneliti kembali ke lapangan, melakukan pengamatan, wawancara lagi
dengan sumber data yang pernah ditemui maupun yang baru.
b. Meningkatkan
ketekunan
Peneliti dapat memberikan deskripsi
data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. Untuk meningkatkan
ketekunan, perlu dibaca berbagai buku referensi maupun hasil penelitian atau
dokumentasi yang berkaitan.
c. Triangulasi
Triangulasi dimengerti sebagai
pengecekan data dari berbagai sumber dengan berbagai cara, dan waktu. Dengan
demikian terdapat triangulasi sumber, triangulasi teknik, pengumpuan data dan
waktu.
·
Triangulasi sumber
Tiangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data,
dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa
sumber.
·
Triangulasi teknik
Triangulasi
teknik untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data
kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda. Misalnya, data diperoleh
dengan wawancara, lalu dicek dengan observasi.
·
Triangulasi waktu
Waktu juga mempengaruhi kredibilitas data.
Bila hasil uji menghasilkan data yang berbeda, maka dilakukan secara
berulang-ulang sampai ditemukan kepastian datanya.
2.2.7
Transferability
Hasil
penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain. Penulis membuat laporan
dengan memberikan uraian yang rinci, jelas, sistematis, dan dapat dipercaya,
maka pembaca menjadi jelas atas hasil penelitian tersebut sehingga dapat
diterapkan pada tempat yang lain.
2.2.8
Dependability
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengaudit
keseluruhan aktivitas penulis dalam melakukan penelitian, dengan auditor
pembimbing. Uji dependability ini dilakukan agar penelitian ini benar-benar
sesuai dengan kenyataan yang ditemukan di lapangan.
2.2.9
Konfirmability
Pengujian konfirmability
untuk menguji penelitian, dikaitkan dengan proses yang dilakukan. Penulis
menggunakan cara ini agar hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya sesuai
dengan data yang dikumpulkan di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Dokumen
Gereja :
Konsili Vatikan II, 1993, Lumen Gentium (LG), Konstitusi
Dogmatis tentang Terang Bangsa-Bangsa, diterjemahkan
oleh Hardawriyara R., Jakarta: Obor
KWI, 2006, Kitab Hukum Kanonik, Obor: Jakarta
Yohanes Paulus II., 1994, Familiaris Concortio, Surat kepada
keluarga-keluarga, diterjemahkan oleh Yosef, MH.
Sumber
Buku :
Bimas Katolik, 1997, Modul: Gereja (Eklesiologi I), IPI:
Malang
Eminyan,
Maurice, Sj, 2001, Teologi Keluarga, Kanisius:
Yogyakarta
Gilarso,
T. SJ, 1996, Membangun Keluarga
Kristiani, Kanisius: Yogyakarta
Hello, Marianus, Yosef., 2004, Menjadi Keluarga Beriman, Yayasan
Pustaka Nusatama: Yogyakarta
KWI, 2011, Pedoman Pastoral Keluarga, Obor: Jakarta
Komkat Keuskupan Manado, 2010, Ecclesiola, Cahaya Pineleng: Jakarta
Raharso, C. Alf. Pr., 2006, Paham Perkawinan dalam Hukum Gereja Katolik,:
Dioma: Malang
Sujoko, Albertus. MSC., 2011, Teologi Keluarga, Kanisius: Yogyakarta
Suwito, P. Pr., 2003, Panduan Kesejahteraan dan Kebahagiaan Keluarga,
Dioma: Malang
Sumber Internet :
http://www.definisi-pengertian.com/2015/04/pengertian-keluarga-definisi-menurut-para-ahli.html?m=1. Diakses 9 November 2015
https://id.m.wikipedia.org/wiki/keluarga. Diakses 9
November 2015
http://iokaw.blogspot.co.id/2010/12/pengertian-keluarga-dan-fungsinya.html?m=1. Diakses 9 November 2015
http://www.carmelia.net/index.php/artikel/tulisan-lepas/231-keluarga-adalah-gere-ja-kecil. Diakses 10 November 2015
LAMPIRAN 1
Pedoman
Wawancara
A. Bagaimana realitas
gerejawi (hidup menggereja) dalam kehidupan keluarga sebagai Gereja kecil di
stasi St Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1) Bagaimana pemahaman anda tentang keluarga?
2) Bagaimana pemahaman anda tentang Gereja?
3) Menurut anda, apa arti keluarga sebagai Gereja Kecil?
4) Apa tugas dan peran keluarga sebagai Gereja Kecil?
5) Apa hambatan keluarga dalam mewujudkan keluarga sebagai
Gereja kecil ?
6) Bagaimana pemahaman anda tentang hidup menggereja?
7) Menurut anda apa tujuan hidup menggereja?
8) Menurut anda, apakah hidup menggereja itu penting?
Mengapa?
9) Apa faktor-faktor penghambat dalam hidup menggereja?
10) Apa faktor-faktor pendukung dalam hidup menggereja?
B. Bagaimana
model-model keluarga sebagai Gereja kecil di stasi St Markus Raanan Lama,
paroki St Paulus Tompaso Baru?
1) Menurut anda, bagaimana model-model keluarga sebagai
Gereja Kecil ?
2) Kebiasaan apa yang dilaksanakan dalam keluarga sebagai
model keluarga sebagai Gereja Kecil ?
3) Berkaitan
dengan pertanyaan di atas, apakah
kehidupan keluarga anda sudah bisa dikatakan sebagai Gereja kecil?
4) Manakah upaya
pengembangan keluarga sebagai gereja kecil yang dapat dilaksanakan di stasi St
Markus Raanan Lama, paroki St Paulus Tompaso Baru?
1) Menurut anda, apa upaya yang bisa dilakukan untuk
mewujudkan keluarga sebagai Gereja kecil ?
LAMPIRAN
2
Jadwal
Penelitian
No
|
Kegiatan
|
September
|
Oktober
|
November
|
Desember
|
|||||||||||||
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
1
|
2
|
3
|
4
|
|||
1
|
Observasi Awal
|
●
|
||||||||||||||||
2
|
Bimbingan Proposal
|
●
|
●
|
●
|
||||||||||||||
3
|
Penyusunan
Proposal
|
●
|
●
|
●
|
●
|
|||||||||||||
4
|
Seminar Proposal
|
●
|
||||||||||||||||
5
|
Perbaikan Proposal
|
●
|
||||||||||||||||
6
|
Penelitian Lapangan
|
●
|
●
|
|||||||||||||||
7
|
Analisis Data
|
●
|
●
|
|||||||||||||||
8
|
Penyusunan Skripsi
|
●
|
●
|
●
|
||||||||||||||
9
|
Bimbingan Skripsi
|
●
|
●
|
●
|
||||||||||||||
10
|
Penyempurnaan
Skripsi
|
●
|
●
|
|||||||||||||||
11
|
Ujian Skripsi
|
●
|
Jadwal
ini sewaktu-waktu dapat berubah sesuai situasi dan kondisi.
LAMPIRAN
3
Biaya
Penelitian
No
|
Kegiatan
|
Biaya
(Rp)
|
1.
|
Penyusunan Proposal
|
200.000
|
2.
|
Penggandaan Proposal
|
200.000
|
3.
|
Seminar Proposal
|
200.000
|
4.
|
Perbaikan Proposal
|
200.000
|
5.
|
Observasi Lapangan
|
150.000
|
6.
|
Kegiatan Penelitian
|
500.000
|
7.
|
Penyusunan Skripsi
|
1.000.000
|
8.
|
Bimbingan Skripsi
|
500.000
|
9.
|
Penyempurnaan Skripsi
|
1.000.000
|
10
|
Penggandaan Skripsi
|
1.000.000
|
11.
|
Ujian Skripsi
|
500.000
|
12.
|
Lain-lain
|
200.000
|
Jumlah
|
5.400.000
|
Langganan:
Postingan (Atom)